Jumat, 24 Juni 2016

Tadabbur Alam Gunung Sindoro 3136 Mdpl

Hari sudah sore, saat kami tiba di basecamp pendakian Gunung Sindoro via kledung, Parakan, Temanggung. Lebih dari 90 motor terparkir di dalam aula basecamp, penuh sampai ke halaman luar. Diperkirakan lebih dari 500 pendaki sedang menikmati indahnya alam gunung sindoro. Libur akhir pekan menjadi waktu yang pas untuk mendaki, sehingga tak heran jika pendakian pada sabtu sore itu benar-benar ramai. 
Kabut tebal, sudah mulai turun ke area basecamp. Suhu turun secara drastis membuat para pendaki benar-benar kedinginan. Untung kami semua sudah siap tempur, dengan modal jaket tebal, slayer, sarung tangan, hingga kaos kaki yang digunakan agar menjaga suhu tubuh tetap hangat. Sebelum berangkat, kami berempat (saya, fay, Jodi, dan Nur) packing perlengkapan terlebih dahulu agar carrier yang kami bawa lebih nyaman digunakan. Pendaki lain pun demikian, mereka packing dulu di masjid dekat basecamp. Ada sekitar 20an pendaki yang siap menaklukkan sindoro malam itu, termasuk kami. 
Pukul 18.40 WIB, kami berempat mulai berjalan menuju pos 1 dibantu penerangan senter seadanya. Dibelakang kami rombongan bapak-bapak yang berasal dari purwodadi juga memulai pendakian. Rumah-rumah warga menjadi tanda garis start pendakian. Batu-batu gunung yang disusun berundak-undak agar tidak licin saat dilewati. Udara cukup dingin malam itu. Dinginnya udara sedikit teratasi jika kami terus berjalan. Memang begitu teori pendaki, jika dingin maka berjalanlah, agar tubuh mengeluarkan kalor. 
Rumah warga telah terlewati, kami mulai masuk kawasan ladang pertanian yang sangat luas. Meskipun hari sudah malam, sayuran-sayuran di ladang itu agak terlihat. Ada sesin, yang biasa disajikan dengan mie ayam, ada tomat, cabai rawit, dan lainnya. Bau pupuk kandang yang bercampur dengan hawa dingin gunung juga ikut tercium selama perjalanan. Jarak basecamp menuju pos 1 Kurang lebih 3,5km dengan medan yang tidak terlalu terjal, tapi cukup menanjak. Beberapa pendaki bahkan menggunakan jasa ojek “ekstrim” untuk mencapai pos 1 dengan hanya membayar 20 ribu rupiah. Beberapa kali kami “break” untuk mengumpulkan tenaga, serta minum sedikit air. Bagi Nur, ini adalah pendakiannya yang pertama, jadi selama perjalanan dia sering minta “break” untuk meregangkan otot-otot kakinya. Sekitar 500 meter lagi kami sampai pos 1, hujan turun dengan deras. Kami segera menggunakan mantel dan terus berjalan. Pukul 20.00 kami tiba di pos 1 dengan ketinggian kurang lebih 1600 mdpl. Banyak pendaki lain yang “break” di bawah saung sederhana yang dibuat khusus untuk tempat istirahat tukang ojek gunung. Tapi kami tetap melanjutkan perjalanan, karena kalau berdiam diri, kami jelas kedinginan. 
Perjalanan menuju pos 2, medan yang dilalui mulai menanjak. Beberapa pohon tumbang menghalangi track pendakian, sehingga tak jarang kami harus menunduk atau melangkahi pohon-pohon tumbang. Disamping itu Hutan-hutan pinus serta tanaman paku mengiringi perjalanan kami. Sementara hujan dengan derasnya mengguyur tubuh kami yang dengan susah payah membawa carrier berlapis mantel. Sesekali kami “break” untuk sekedar meregangkan pundak yang pegal membawa carrier, makan snack dan roti, atau untuk menghabiskan sebatang rokok. 
Satu jam kemudian, kami tiba di pos 2 dengan ketinggian sekitar 2150 mdpl. Disana ada “saung” yang beratapkan asbes, dan ditopang oleh kayu hutan dengan luas kurang lebih 4 x 4,5 m. kami berempat segera berteduh untuk istiriahat dan meluruskan kaki agar tidak terlalu tegang. Kurang lebih setengah jam kami istirahat di sana. Makan snack, minum sedikit air, serta sembari berdiskusi tentang perjalanan kami. Saya, fay, dan Jodi memiliki background keilmuan Sains, sedangkan Nur, adalah mahasiswa ushuluddin (ilmu agama). Sehingga saat berdiskusi sering kami bertukar pikiran tentang sains dan agama, hingga saya berpikiran, “gimana kalau temen-temen ushuluddin itu membuat artikel/essay tentang agama yang kemudian di digitalkan sama temen-temen saintek, bisa berupa java, android, atau aplikasi lainnya” usulku. 
Tidak lama kemudian rombongan bapak-bapak tadi menyusul kami, saat istirahat di pos 2. Kemudian, rombongan pendaki yang berasal dari solo juga sampai di pos 2. Akhirnya kami putuskan untuk melanjutkan pendakian, tidak lupa Jodi memotret plang pos 2 yang ada di samping saung. Sekitar pukul 21.30 WIB, kami melanjutkan pendakian menuju pos 3 dengan track yang lebih terjal. Batu-batu besar setiggi 1 meter lebih menjadi tantangan yang harus kami lewati. Hutan pinus pun sudah tidak tampak, yang ada hanya rumput ilalang, serta sedikit pepohonan besar. Jalan yang terjal, dan menanjak tajam berupa batu besar membuat kami kehabisan energy. Seringkali Nur, atau Fay minta “break” meskipun baru jalan beberapa meter. 
Selama perjalanan menuju pos 3, kami berjumpa dengan beberapa pendaki lain yang baru turun gunung. “mas pos 3 masih jauh ga ya?” Tanya kami. “lumayan mas, paling sejam lagi” jawab mereka enteng. Pertanyaan seperti itu yang sering kami tanyakan. Meskipun terkadang jawaban mereka membuat kami putus asa, saat mengetahui pos 3 masih jauh. Belum juga sampai di pos tiga, tenda-tenda para pendaki banyak kami temukan di sekitar semak belukar. Mungkin, kami akan kesulitan mencari tempat untuk ngecamp. Dugaanku benar-benar terjadi. Saat kami sampai di pos 3 pukul 23.40 WIB, puluhan tenda para pendaki sudah berjajar padat memenuhi tanah-tanah kosong di area pos 3. Dengan susah payah, kami mencari lahan untuk ngecamp. Seluruh area pos 3 kami susuri dengan berpencar. Tapi hasilnya tetap nihil. Tidak ada lahan yang cukup akomodatif untuk bisa didirikan sebuah tenda kapasitas 4 orang. 
Akhirnya, kami memutuskan untuk melanjutkan pendakian, dengan harapan selama di perjalanan kami bisa menemukan lahan untuk ngecamp. Waktu sudah menunjukkan pukul 00.30 WIB. Kami masih bleum menemukan tempat ngecamp yang akomodatif. Saat itu kami sudah berada di antara pos 3 dengan hutan lamtoro, sekitar ketinggian 2700 mdpl. Suhu pada dini hari itu, sangat dingin. Kalau kami berdiam diri, kami akan menggigil. Sedangkan tubuh sudah lelah dan lapar karena sejak siang kami belum melahap makanan, satu butir nasi sekalipun. Setelah mencari sekitar 30 menit, akhirnya kami memutuskan untuk ngecamp di sebuah tanah berumput berukuran 4x3,5 m sangat sempit untuk tenda berukuran 4 orang. Dengan pojok sebelah utara agak curam. Tanah berumput itu berada kurang lebih 2,5 meter di atas permukaan jalur pendakian dan semak belukar. Dengan tanah yang agak miring. Jadi kami tidur dengan posisi menurun. Fay, dan Jodi mendirikan tenda dengan pintu tenda menghadap jalur pendakian. Saya dan Nur memasak mie, untuk mengganjal perut yang sangat lapar. Sekitar pukul 01.30 kami baru istirahat, setelah memastikan barang-barang aman dan tenda tertutup rapat. 
Sejuknya udara pagi hari langsung terasa di hidung kami. Segar dan bau khas pegunungan. Pukul 05.00 kami bangun dan segera merapihkan tenda. Suhu pada pagi hari itu sangat dingin. Membuat kami tak henti menggigil kedinginan. Sunrise masih belum muncul. Sedikit demi sedikit cahaya oranye keluar dari balik punggung Sumbing. Namun awan da kabut pagi samar samar menutupi cahaya sunrise. Tapi tetap indah. Gradasi warna yang menyegarkan pagi. Rasa dingin pun mulai terkurangi saat hangatnya cahaya sunrise menerpa kulit kami yang pucat. Kami tak mau kehilangan momen, akhirnya kami sedikit berselfi ria dengan background sunrise dan Gunung Sumbing. Sungguh indah kawan!. Inilah surga nya para pendaki. 
Matahari sudah beranjak meninggi. Meninggalkan momen sunrise yang sangat indah. Kami juga sudah selesai packing dan siap melanjutkan pendakian. Kurang lebih pukul 06.20 kami mulai mendaki kembali. Track yang dilewati lebih sulit. Batu-batu besar serta curam harus kami lewati satu persatu dengan tetap membawa carrier yang cukup merrepotkan. 
Pukul 08.00 akhirnya kami tiba di kawasan Hutan Lamtoro (2800 mdpl). Disitu banyak pohon lamtoro tapi tidak terlalu padat, ada beberapa tanah kosong yang hanya ditumbuhi rerumputan dengan medan yang agak curam. Tapi dengan begitu, kami dapat melihat jelas track pendakian di bawah, serta tegaknya gunung sumbing di depan kami. Melihat kondisi Nur yang kelelahan, akhirnya kami masak sarapan pagi di kawasan Hutan Lamtoro. Setelah berdiskusi sejenak, serta merelakan ego pribadi, saya dan Jodi melanjutkan perjalanan menuju batu tatah. Sedangkan Fay dan Nur masak untuk sarapan di Hutan Lamtoro. Kami menitipkan carrier ke Fay dan Nur agar pendakian menuju batu tatah lebih ringan dan cepat. 
“kira-kira berapa lama fan sampe ke batutatah?” Tanya Jodi. “ya, satu setengah jam lah jod, kan kita ga bawa carrier, apalagi lapar pasti ingin cepat naik dan cepat turun he “candaku yang diiringi tawa mereka. 
Dengan bekal setengah liter air mineral, beberapa potong roti, dan satu bungkus mie instan saya dan Jodi melanjutkan pendakian. Di jalan, kami sering berpapasan dengan pendaki lain baik yang naik atau turun gunung. Salah satunya kami berpapasan dengan “keluarga pendaki” yang terdiri dari Bapak, Ibu, serta tiga orang anak. Dua orang seumuran remaja, dan satu orang masih balita. Hebat bukan? Sepertinya si bungsu itu baru berumur 5 tahun. dengan gaya manja nya dia meminta dan merengek kepada kakaknya agar makanannya di bagikan secara rata. Lucu dan gemas melihatnya. Sedangkan Ibu dan ayahnya dengan tergopoh-gopoh menyusul anak-anaknya yang sudah hampir mencapai batu tatah. “Jod, tu anak kecil aja bisa, masa kita ga bisa” candaku kepada Jodi yang mulai terlihat kelelahan. 
Kami akhirnya beristirahat sembari menghabiskan roti tawar dan mie instan yang kami bawa. Sambil melihat pemandangan sekitar serta keharmonisan “keluarga pendaki”. Saying kabut tebal tiba-tiba datang dan menutup pemandangan indah itu. Suhu pun menjadi sangat dingin. Kita harus segera berjalan. “Fan, kita turun aja yu,, aku ga ada motivasi lagi naek. Ditambeh lapar belum sarapan” . “hehe,, bilang aja lapar jod, “balasku. Waktu yang sudah siang, sekitar pukul 10.00 serta kabut yang semakin tebal memaksa kami untuk segera turun dan menyantap sarapan yang disiapkan Fay dan Nur. Saat itu kami baru samai ketinggian sekitar 2870 mdpl. Kami menargetkan agar selepas ashar sudah sampai di basecamp. Karena penyewaan tenda dan peralatan lainnya dibatasi hanya sampai malam ini. Kalau kelewat kami kena denda. Hanya membutuhkan waktu setengah jam, untuk turun kembali ke batu tatah. Dari kejauhan kami melihat fay dan nur sudah siap menghidangkan sarapan. Nasi putih, sayur oseng tempe, serta telur dadar dan bumbu pecel. Sangat sedap. Ditambah, kondisi perut yang sedari kemarin sore sama sekali belum diisi oleh sebutir nasi pun. Kami berempat makan dengan lahap, sambil memandang gagahnya gunung Sumbing. 
Pukul 10.30 kami mengakhiri sarapan yang nikmat, serta merapihkan barang-barang dan segera menuruni gunung sindoro yang mempesona, meskipun puncaknya sama sekali tak terlihat. Selema menuruni gunung sindoro, kami tidak lupa untuk membawa sampah-sampah non organic agar tidak mencemari keasrian gunung. Tapi sayang, di area pos tiga banyak sekali kami temukan sampah-sampah plastic berserkana, bekas bungkus mie, roti, kopi, susu, dan sampah plastic lainnya. Sungguh sangat mengganggu dan mencemari. Mungkin mereka inilah yang disebut pendaki “karbitan”. Hanya menikmati alam, bukan mencintai alam! . semoga pendaki seperti ini tidak ditemukan di gunung –gunung lainnya. Hujan besar menemani kami menuruni pos 3 menuju pos 2. Baru mulai reda saat kami tiba di pos 1. Badan kami basah kuyup meskipun ditutupi mantel. Kaki serta persendian mulai terasa ngilu. Nur dan Jodi memutuskan untuk menggunakan ojek, saat menuruni pos 1 menuju basecamp. Saya dan Fay tetap berjalan sambil menikmati pemandangan lahan pertanian yang hijau dan segar. Pukul 16.00 kami semua sudah tiba di basecamp. Sungguh perjalanan yang singkat, namun berkesan. Keindahan alam gunung Sindoro serta pemandangan gagahnya gunung Sumbing tak kan terlupakan. Ini juga bentuk kecintaan kami terhadap Indonesia. Kecintaan terhadap indahnya alam Indonesia. Semoga para pendaki dan pecinta alam tidak hanya menikmati alam Indonesia, tetapi dengan mencintai alam Indonesia. 
Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal akan objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesaia bersama rakyatnya dari dekat. Karena itulah kami naik gunung! (Soe Hok Gie). 
Kledung, Parakan Temanggung 21-22 Maret 2015
Irfan Fauzi