UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers pada pasal 1 ayat
4 menjelaskan bahwa wartawan atau jurnalis merupakan orang yang secara teratur
melakukan kegiatan jurnalistik. Kegiatan tersebut mencakup: mencari,
memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam
bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik, maupun
dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan
segala jenis saluran lainnya (Yunus, 2010).
Wartawan atau jurnalis merupakan salah satu profesi
yang dapat dipilih oleh orang-orang yang tertarik dalam dunia pewartaan suatu
kejadian atau peristiwa. Secara lebih lanjut, Kamus Besar Bahasa Indonesia
mendefinisikan bahwa profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi keahlian
(keterampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu. Dengan demikian, sebagai sebuah
profesi, maka seorang wartawan dituntut untuk memiliki kompetensi tertentu agar
pekerjaan tersebut dapat dikategorikan sebagai profesi. Kompetensi merupakan
kemampuan seseorang yang dapat terobservasi yang mencakup pengetahuan,
keterampilan, dan sikap dalam menyelesaikan suatu pekerjaan atau tugas sesuai
dengan perform yang ditetapkan (Rivai, 2009). Kompetensi dibangun atas enam
hal, yaitu (Ruky, 2006):
1.
keahlian
atau kecakapan melakukan sesuatu dengan baik;
2.
pengetahuan
mencakup informasi yang dikuasai dalam bidang tertentu;
3.
peran
sosial berupa citra yang diproyeksikan seseorang kepada orang lain;
4.
citra
diri berupa persepsi individu tentang dirinya;
5.
karakteristik
yang relatif konstan; dan
6.
motif
yang mendorong individu bertindak dan berperilaku.
Berkaitan dengan kompetensi yang harus dimiliki
oleh seorang pengemban profesi wartawan, Peraturan Dewan Pers nomor 1 tahun
2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan menjelaskan bahwa wartawan Indonesia
dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu: Wartawan Muda, Wartawan Madya dan Wartawan
Utama. Masing-masing tingkatan wartawan tersebut memiliki kompetensi yang
berbeda-beda. Wartawan muda harus memiliki kompetensi melakukan kegitan
jurnalistik, wartawan madya harus memiliki kompetensi pengelolaan kegiatan
jurnalistik, dan Wartawan utama harus memiliki kompetensi untuk mengevaluasi
dan memodifikasi proses kegiatan jurnalistik.
Orang yang berkutat dalam sebuah profesi selanjutnya
akan dapat disebut sebagai seorang profesional. Seseorang dapat disebut sebagai
profesional apabila memenuhi beberapa syarat, yaitu: (1) memiliki knowledge yang diperlukan oleh profesi
itu; (2) memiliki skill yang
diperlukan, dan (3) senantiasa bersikap profesional (Rivai, 2009). Berdasarkan
ketentuan tersebut, maka perlu adanya pengujian para calon pengemban profesi
dengan melakukan beberapa hal berikut. Pertama,
sangat mengutamakan evaluasi rasionalitas kognitif yang diterapkan pada bidang
khusus tertentu karenanya sangat menekankan unsur intelektual. Kedua, kriteria penguasaan tradisi
kultural dalam menggunakan keahlian tertentu. Dalam lingkungan suatu profesi
berlaku suatu sistem nilai yang berfungsi sebagai standar nomatif yang harus
menjadi kerangka orientasi dalam pengembangan profesi yang bersangkutan. Ketiga, untuk menjamin bahwa kompetensi
dari suatu kompleksitas okupasi (sistem sosial pekerjaan) akan digunakan dengan
cara-cara yang secara sosial bertanggungjawab, maka haruslah memiliki sejumlah
sarana institusional, berupa organisasi profesi, etika dan kode etik profesi
dengan prosedur penegakannya, serta cara rekrutasi pengemban profesi (Dahlan,
2011).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa wartawan
sebagai sebuah profesi yang bertindak sebagai perantara antara peristiwa dengan
masyarakat, pada hakekatnya ialah sebuah okupasi atau lapangan pekerjaan yang
memenuhi kualifikasi dan menuntut syarat keahlian tinggi kepada para pengemban
dan pelaksananya. Oleh sebab itu, wartawan harus memiliki lima kompetensi dasar
berikut (Donsbach, 2010):
1.
mengetahui
proses terjadinya peristiwa, mengaitkan dengan sejarah dan memikirkan secara
analitik;
2.
mempunyai
keahlian dan pengetahuan yang memadai atas hal yang dilaporkan;
3.
mempunyai
keahlian dan keterampilan berkomunikasi;
4.
mempunyai
keterampilan dalam hal jurnalistik;
5.
mempunyai
kode etik yang dipatuhi dalam menjalankan profesi sehari hari.
Secara lebih lanjut, Adinegoro (1961), salah
seorang perintis pers Indonesia dalam Shobur (2001) juga menambahkan bahwa untuk
dapat dikategorikan sebagai seorang wartawan yang baik, maka wartawan harus
memiliki sejumlah sikap yang harus ditanam dan dipupuk dalam mendedikasikan
tugasnya sebagai seorang wartawan, yaitu:
a.
minat
yang mendalam terhadap masyarakat dan apa yang terjadi dengan manusianya;
b.
sikap
ramah tamah terhadap segala jenis manusia dan pandai membawa diri;
c.
dapat
menimbulkan kepercayaan orang yang dihadapi;
d.
kesanggupan
berbicara dan menulis dalam bahasa Indonesia, dan lebih baik jika menguasai
berbagai bahasa asing;
e.
memiliki
daya peneliti yang kuat dan setia kepada kebenaran;
f.
memiliki
rasa tanggung jawab dan ketelitian;
g.
kerelaan
mengerjakan lebih dari apa yang ditugaskan;
h.
kesanggupan
bekerja cepat;
i.
selalu
bersikap objektif;
j.
memiliki
minat yang luas;
k.
memiliki
daya analisis;
l.
memiliki
sifat reaktif;
m.
teliti
dalam mengobservasi;
n.
suka
membaca;
o.
suka
memperkaya bahasa.
Di Indonesia sendiri, idealiasi mengenai perlunya
memperhatikan kompetensi wartawan mulai menjadi perhatian pada jaman Orde
Reformasi (Syahri, 2018). Menurut Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan
DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan, diberikan penjelasan setidaknya terdapat enam
tujuan dari Standar Kompetensi Wartawan yaitu: (1) meningkatkan kualitas dan
profesionalitas wartawan; (2) menjadi acuan sistem evaluasi kinerja wartawan
oleh perusahaan pers; (3) menegakkan kemerdekaan pers berdasarkan kepentingan
publik; (4) menjaga harkat dan martabat kewartawanan sebagai profesi khusus
penghasil karya intelektual; (5) menghindarkan penyalahgunaan profesi wartawan;
dan (6) menempatkan wartawan pada kedudukan strategis dalam industri pers.
Jadi, berdasarkan tujuan tersebut, dapat diketahui bahwa wartawan profesional
bekerja dengan standar sistem tersendiri untuk menjaga checks and balance pewartaan yang diberikan kepada masyarakat dengan memenuhi kode-kode etik yang
dimiliki sebagai pedoman dalam menjalankan pekerjaannya. Secara lebih lanjut,
dalam rumusan dewan pers (Nuruddin, 2009), dijelaskan bahwa terdapat tiga
kategori kompetensi yang harus dipunyai seorang wartawan, yaitu:
1.
kesadaran
tentang etika, hukum, dan karier;
2.
memiliki
pengetahuan umum dan khusus sesuai dengan bidang yang bersangkutan; dan
3.
mempunyai
keterampilan menulis, wawancara, riset, investigasi, cakap menggunakan berbagai
peralatan penujang kerja.
Sebagai upaya untuk memperbaiki kualitas wartawan
Baran dalam Mass Communication Theory:
Foundations, Ferment, and Future (2012) juga mengingatkan bahwa ada
beberapa hal yang harus diperhatikan oleh seorang wartawan, yaitu: (1) profesional di setiap bidang, termasuk
Jurnalistik, merasa enggan untuk menyelidiki dan memprotes kolega yang melanggar
standar profesi; (2) standar profesi seringkali abstrak dan kabur; (3)
dibandingkan dengan bidang kedokteran atau hukum, pembentukan profesional media
tidak memiliki standar pelatihan dan lisensi; (4) dibandingkan dengan profesi
lain, praktisi media kerap memiliki kontrol yang kurang independen terhadap
pekerjaan mereka sendiri; (5) dalam industri media, pelanggaran terhadap
standar profesi jarang sekali memiliki dampak langsung dan dapat diamati.
Secara lebih rinci, pasal 6 Kode Etik Jurnalistik
menjelaskan bahwa wartawan Indonesia
menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Selanjutnya,
dalam penafsirannya disebutkan cara-cara yang profesional yang dimaksud adalah
sebagai berikut.
a.
menunjukkan
identitas diri kepada narasumber;
b.
menghormati
hak privasi;
c.
tidak
menyuap;
d.
menghasilkan
berita yang faktual dan jelas sumbernya;
e.
rekayasa
pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan
keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
f.
menghormati
pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
g.
tidak
melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai
karya sendiri;
h.
penggunaan
cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi
bagi kepentingan publik.
Sumber:
Supadiyanto, 2019. Pengantar Jurnalisme Konvergentif. Yogyakarta: Pustaka Baru Press