Rabu, 07 September 2016

Pangkalpinang, Kota Kaya Objek Wisata



Siapa yang tidak kenal “Laskar Pelangi”? Saya yakin, orang-orang Indonesia pasti mengenal karya gubahan Andrea Hirata itu, karena juga sempat booming mewarnai industri film nasional. Tahu nggak, latar tempatnya dimana? Ya, latar tempatnya di Belitung. Yang diceritakan sebagai daerah yang kaya timah dan punya anak-anak hebat yang punya semangat sekolah dan mendapatkan pendidikan yang luar biasa, meski dengan berbagai kekurangan yang dimilikinya.
Tapi, kali ini saya tidak akan mengulas tentang “Laskar Pelangi”. Saya akan mengulas tentang pesona Ibukota Provinsinya Kepulauan Bangka Belitung, yaitu Pangkalpinang. Namanya juga Ibukota, pasti Kota Pangkalpinang pasti menjadi pusat pemerintahan. Nah, untuk pusat pemerintahan kota terletak di Kelurahan Bukit Intan, sementara pusat pemerintahan provinsi dan instansi vertikal di Kelurahan Air Itam. Tidak hanya itu, antor pusat PT Timah, Tbk juga berada di sini. Tak heran, Pangkalpinang juga merupakan pusat aktivitas bisnis/perdagangan dan industri di Bangka Belitung. Tak heran pula, beragam suku bermukim disini. Ada etnis Melayu dan etnis Cina suku Hakka yang datang dari Guangzhou yang menjadi mayoritas. Ditambah lagi, ada juga sejumlah suku pendatang seperti Batak, Minangkabau, Palembang, Sunda, Jawa, Madura, Banjar, Bugis, Manado, Flores dan Ambon.
Lebih lanjut, kalau kita pernah menonton film “Laskar Pelangi”, pasti merasa kagum akan keindahannya. Ya, kira-kira begitulah yang ada di Pangkalpinang, bahkan bisa jadi lebih menarik. Jadi, tidak perlu kaget dengan pesona alam yang ada disana. Memang sih, beda pulau. Cerita Laskar Pelangi di Pulau Belitung, sementara Pangkalpinang terletak di Pulau Bangka. Tapi, meski begitu, harus diakui Pangkalpinang termasuk daerah yang kaya dengan objek wisata alam, sejarah, religi hingga wisata kuliner. Posisinya yang strategis sebagai pintu masuk ke Pulau Bangka menjadikan kota ini menjadi perlintasan bagi wisatawan yang berkunjung ke Pulau Bangka. Apalagi akomodasi untuk wisatawan seperti hotel berbintang hingga penginapan kelas melati mudah di temui. Ya, tentu nggak nyesel dong, berwisata ke Pangkalpinang. Kalau yang ngaku traveller, jangan ngaku traveller deh, kalau belum ke Pangkalpiang. Hehehe.
Dari berbagai objek wisata tersebut, ada tiga tempat yang sayang dilewatkan jika berkunjung ke kota Pangkalpinang. Inilah tiga objek wisata tersebut:
1.    Museum Timah Indonesia
Kalau di film Laskar Pelangi disebutkan bahwa Belitung kaya timah, kalau di Pangkalpinang justru ada museum timah. Karena, yang kaya timah bukan hanya Belitung saja, tapi juga Pulau Bangka. Oleh karena itulah, dibangun museum timah disini. Museum ini merupakan satu-satunya museum timah di Indonesia bahkan di Asia. Tak perlu jauh-jauh, objek wisata ini dekat dengan pusat kota beralamat di jalan Ahmad Yani No 179.
Di museum ini, tersaji sejarah penambangan timah di Pulau Bangka sebagai penghasil timah terbesar di dunia dari jaman penjajahan Belanda hingga penambangan timah modern. Berbagai peralatan penambangan timah secara tradisional oleh masyarakat tempo doloe hingga peralatan penambangan modern dapat disaksikan disini berikut produk-produk kerajinan dari timah.
Begitu masuk ke kawasan museum pengunjung sudah disajikan sebuah lokomotif kuno yang dulunya digunakan untuk mengangkut pasir timah pada jaman kolonial Belanda dan mangkuk-mangkuk pengeruk pasir timah yang digunakan kapal Keruk pada era penambangan timah modern.
Museum Timah ini sendiri gedungnya masih bergaya kuno khas bangunan peninggalan Belanda.
2.    Alun-alun Taman Merdeka
Tempat ini awalnya merupakan sebuah lapangan bola tempat pertandingan sepakbola antar kampung desa-desa di Pulau Bangka digelar. Namun, tempat itu telah diubah. Tempat yang berada di titik nol kilometer tepat di rumeh eks Residen Pangkalpinang ini telah disulap menjadi tempat rekreasi keluarga di kota Pangkalpinang.
Disini, ada area permainan bagi anak-anak dan taman-taman yang indah untuk bersantai. Ada sebuah taman yang disebut dengan Taman Sari dilengkapi pepohonan rindang dan sebuah prasasti tentang penyerahan pemerintahan RI ke Jogjakarta dari Presiden Soekarno ke Sultan Hamengkubuono. Ingat dong, pesan Soekarno tentang “Jas merah”? Ya, jangan lupakan sejarah. Kalau kita ingin  bernostalgia sejarah Indonesia, tidak ada salahnya berkunjung ke Pangkalpiang, khususnya taman merdeka.
Karena, Kota Pangkalpinang sebagai ibu kota Provinsi Bangka Belitung (Babel), merupakan kota para pahlawan merebut kemerdekaan Republik Indonesia (RI) dari penjajahan Belanda dan Jepang. Tentu, kota ini penuh dengan sejarah. Kota ini merupakan pangkal kemenangan bagi perjuangan dan akhir perjuangan diplomasi dan fisik berakhir pada 27 Desember 1949 di Den Haag dalam Konferensi Meja Bundar, ditandatangani pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Pemerintah Belanda.
Lebih lanjut, kawasan ini pada sore dan malam hari biasanya menjadi tempat bersantai keluarga maupun anak-anak muda. Selanjutnya, pada akhir pekan, kawasan ini menjadi tempat olahraga warga kota Pangkalpinang.
3.    Pantai Pasir Padi


Pulau Bangka terkenal dengan pantai-pantai indah berpasir putih yang mengelilingi pulau ini. Karena itulah, objek wisata Bangka sendiri tidak bisa dipisahkan dari wisata pantai. Begitu juga Kota Pangkalpinang, di kota ini ada objek wisata pantai yang sayang dilewatkan yaitu Pantai Pasir Padi.
Seperti kebanyakan pantai lain yang menawan di seantero Pulau Bangka, panorama Pasir Padi dijamin akan membuat pengunjung berdecak kagum. Pasir Padi merupakan tempat wisata pantai yang paling ramai dikunjungi di hari libur. Pantai yang menghadap langsung ke Laut Cina Selatan tersebut menawarkan sejumlah panorama alam yang indah. Hamparan pantainya yang luas, kadang sampai 300 meter, ombak yang tenang membuat pantai ini sangat nyaman untuk berenang dan mandi.
Tak heran, pantai yang berjarak hanya sekitar 7 KM dari pusat kota itu selalu menjadi tempat wisata favorit warga kota yang ramai dikunjungi setiap akhir pekan. Pantainya yang landai berpasir putih menjadikannya tempat yang cocok untuk bermain di sekitar pantai bersama keluarga.
Pantai ini terbilang unik lantaran kendaraan roda dua maupun roda empat bisa berjalan hingga ke pinggir pantai tanpa takut terjebak pasir karena tekstur pasir pantainya yang padat. Tak heran, setiap akhir pekan biasanya sering ditemui anak-anak muda mengadu kecepatan di tepi pantai ini.
Tidak hanya itu, dari Pasir Padi ini Anda juga bisa menyewa kapal kecil untuk berlayar menikmati keindahan dua pulau kecil; Pulau Panjang dan Pulau Semajun. Kedua pulau tersebut hanya berjarak dua mil dari bibir pantai. Pulau Panjang dihuni oleh beberapa keluarga nelayan.

Selain tiga objek wisata diatas, ada objek wisata lain yang bisa menjadi pilihan di Pangkalpinang seperti Bangka Botanical Garden, objek wisata sejarah kuburan Belanda atau Kerkof, Lapangan golf Girimaya, Mesjid Kayu Tua Tunu, kompleks kuburan terbesar di Indonesia yaitu Pekuburan Tionghoa Sentosa dan berbagai kelenteng Kuno. Tak heran, kalau Pangkalpinang disebut kota yang kaya akan pesona wisata.
Salam dari Jogja!
#pesonapangkalpinang
Sumber:
http://bangka.tribunnews.com/2016/03/13/inilah-tiga-objek-wisata-yang-sayang-dilewatkan-di-pangkalpinang?
http://bangkatour.com/pantai-pasir-padi/#sthash.DG0BvjZc.dpbs
https://id.wikipedia.org/wiki/
http://wansedeng.blogspot.co.id/2009/12/sejarah-pangkalpinang_25.html

Jumat, 24 Juni 2016

Tadabbur Alam Gunung Sindoro 3136 Mdpl

Hari sudah sore, saat kami tiba di basecamp pendakian Gunung Sindoro via kledung, Parakan, Temanggung. Lebih dari 90 motor terparkir di dalam aula basecamp, penuh sampai ke halaman luar. Diperkirakan lebih dari 500 pendaki sedang menikmati indahnya alam gunung sindoro. Libur akhir pekan menjadi waktu yang pas untuk mendaki, sehingga tak heran jika pendakian pada sabtu sore itu benar-benar ramai. 
Kabut tebal, sudah mulai turun ke area basecamp. Suhu turun secara drastis membuat para pendaki benar-benar kedinginan. Untung kami semua sudah siap tempur, dengan modal jaket tebal, slayer, sarung tangan, hingga kaos kaki yang digunakan agar menjaga suhu tubuh tetap hangat. Sebelum berangkat, kami berempat (saya, fay, Jodi, dan Nur) packing perlengkapan terlebih dahulu agar carrier yang kami bawa lebih nyaman digunakan. Pendaki lain pun demikian, mereka packing dulu di masjid dekat basecamp. Ada sekitar 20an pendaki yang siap menaklukkan sindoro malam itu, termasuk kami. 
Pukul 18.40 WIB, kami berempat mulai berjalan menuju pos 1 dibantu penerangan senter seadanya. Dibelakang kami rombongan bapak-bapak yang berasal dari purwodadi juga memulai pendakian. Rumah-rumah warga menjadi tanda garis start pendakian. Batu-batu gunung yang disusun berundak-undak agar tidak licin saat dilewati. Udara cukup dingin malam itu. Dinginnya udara sedikit teratasi jika kami terus berjalan. Memang begitu teori pendaki, jika dingin maka berjalanlah, agar tubuh mengeluarkan kalor. 
Rumah warga telah terlewati, kami mulai masuk kawasan ladang pertanian yang sangat luas. Meskipun hari sudah malam, sayuran-sayuran di ladang itu agak terlihat. Ada sesin, yang biasa disajikan dengan mie ayam, ada tomat, cabai rawit, dan lainnya. Bau pupuk kandang yang bercampur dengan hawa dingin gunung juga ikut tercium selama perjalanan. Jarak basecamp menuju pos 1 Kurang lebih 3,5km dengan medan yang tidak terlalu terjal, tapi cukup menanjak. Beberapa pendaki bahkan menggunakan jasa ojek “ekstrim” untuk mencapai pos 1 dengan hanya membayar 20 ribu rupiah. Beberapa kali kami “break” untuk mengumpulkan tenaga, serta minum sedikit air. Bagi Nur, ini adalah pendakiannya yang pertama, jadi selama perjalanan dia sering minta “break” untuk meregangkan otot-otot kakinya. Sekitar 500 meter lagi kami sampai pos 1, hujan turun dengan deras. Kami segera menggunakan mantel dan terus berjalan. Pukul 20.00 kami tiba di pos 1 dengan ketinggian kurang lebih 1600 mdpl. Banyak pendaki lain yang “break” di bawah saung sederhana yang dibuat khusus untuk tempat istirahat tukang ojek gunung. Tapi kami tetap melanjutkan perjalanan, karena kalau berdiam diri, kami jelas kedinginan. 
Perjalanan menuju pos 2, medan yang dilalui mulai menanjak. Beberapa pohon tumbang menghalangi track pendakian, sehingga tak jarang kami harus menunduk atau melangkahi pohon-pohon tumbang. Disamping itu Hutan-hutan pinus serta tanaman paku mengiringi perjalanan kami. Sementara hujan dengan derasnya mengguyur tubuh kami yang dengan susah payah membawa carrier berlapis mantel. Sesekali kami “break” untuk sekedar meregangkan pundak yang pegal membawa carrier, makan snack dan roti, atau untuk menghabiskan sebatang rokok. 
Satu jam kemudian, kami tiba di pos 2 dengan ketinggian sekitar 2150 mdpl. Disana ada “saung” yang beratapkan asbes, dan ditopang oleh kayu hutan dengan luas kurang lebih 4 x 4,5 m. kami berempat segera berteduh untuk istiriahat dan meluruskan kaki agar tidak terlalu tegang. Kurang lebih setengah jam kami istirahat di sana. Makan snack, minum sedikit air, serta sembari berdiskusi tentang perjalanan kami. Saya, fay, dan Jodi memiliki background keilmuan Sains, sedangkan Nur, adalah mahasiswa ushuluddin (ilmu agama). Sehingga saat berdiskusi sering kami bertukar pikiran tentang sains dan agama, hingga saya berpikiran, “gimana kalau temen-temen ushuluddin itu membuat artikel/essay tentang agama yang kemudian di digitalkan sama temen-temen saintek, bisa berupa java, android, atau aplikasi lainnya” usulku. 
Tidak lama kemudian rombongan bapak-bapak tadi menyusul kami, saat istirahat di pos 2. Kemudian, rombongan pendaki yang berasal dari solo juga sampai di pos 2. Akhirnya kami putuskan untuk melanjutkan pendakian, tidak lupa Jodi memotret plang pos 2 yang ada di samping saung. Sekitar pukul 21.30 WIB, kami melanjutkan pendakian menuju pos 3 dengan track yang lebih terjal. Batu-batu besar setiggi 1 meter lebih menjadi tantangan yang harus kami lewati. Hutan pinus pun sudah tidak tampak, yang ada hanya rumput ilalang, serta sedikit pepohonan besar. Jalan yang terjal, dan menanjak tajam berupa batu besar membuat kami kehabisan energy. Seringkali Nur, atau Fay minta “break” meskipun baru jalan beberapa meter. 
Selama perjalanan menuju pos 3, kami berjumpa dengan beberapa pendaki lain yang baru turun gunung. “mas pos 3 masih jauh ga ya?” Tanya kami. “lumayan mas, paling sejam lagi” jawab mereka enteng. Pertanyaan seperti itu yang sering kami tanyakan. Meskipun terkadang jawaban mereka membuat kami putus asa, saat mengetahui pos 3 masih jauh. Belum juga sampai di pos tiga, tenda-tenda para pendaki banyak kami temukan di sekitar semak belukar. Mungkin, kami akan kesulitan mencari tempat untuk ngecamp. Dugaanku benar-benar terjadi. Saat kami sampai di pos 3 pukul 23.40 WIB, puluhan tenda para pendaki sudah berjajar padat memenuhi tanah-tanah kosong di area pos 3. Dengan susah payah, kami mencari lahan untuk ngecamp. Seluruh area pos 3 kami susuri dengan berpencar. Tapi hasilnya tetap nihil. Tidak ada lahan yang cukup akomodatif untuk bisa didirikan sebuah tenda kapasitas 4 orang. 
Akhirnya, kami memutuskan untuk melanjutkan pendakian, dengan harapan selama di perjalanan kami bisa menemukan lahan untuk ngecamp. Waktu sudah menunjukkan pukul 00.30 WIB. Kami masih bleum menemukan tempat ngecamp yang akomodatif. Saat itu kami sudah berada di antara pos 3 dengan hutan lamtoro, sekitar ketinggian 2700 mdpl. Suhu pada dini hari itu, sangat dingin. Kalau kami berdiam diri, kami akan menggigil. Sedangkan tubuh sudah lelah dan lapar karena sejak siang kami belum melahap makanan, satu butir nasi sekalipun. Setelah mencari sekitar 30 menit, akhirnya kami memutuskan untuk ngecamp di sebuah tanah berumput berukuran 4x3,5 m sangat sempit untuk tenda berukuran 4 orang. Dengan pojok sebelah utara agak curam. Tanah berumput itu berada kurang lebih 2,5 meter di atas permukaan jalur pendakian dan semak belukar. Dengan tanah yang agak miring. Jadi kami tidur dengan posisi menurun. Fay, dan Jodi mendirikan tenda dengan pintu tenda menghadap jalur pendakian. Saya dan Nur memasak mie, untuk mengganjal perut yang sangat lapar. Sekitar pukul 01.30 kami baru istirahat, setelah memastikan barang-barang aman dan tenda tertutup rapat. 
Sejuknya udara pagi hari langsung terasa di hidung kami. Segar dan bau khas pegunungan. Pukul 05.00 kami bangun dan segera merapihkan tenda. Suhu pada pagi hari itu sangat dingin. Membuat kami tak henti menggigil kedinginan. Sunrise masih belum muncul. Sedikit demi sedikit cahaya oranye keluar dari balik punggung Sumbing. Namun awan da kabut pagi samar samar menutupi cahaya sunrise. Tapi tetap indah. Gradasi warna yang menyegarkan pagi. Rasa dingin pun mulai terkurangi saat hangatnya cahaya sunrise menerpa kulit kami yang pucat. Kami tak mau kehilangan momen, akhirnya kami sedikit berselfi ria dengan background sunrise dan Gunung Sumbing. Sungguh indah kawan!. Inilah surga nya para pendaki. 
Matahari sudah beranjak meninggi. Meninggalkan momen sunrise yang sangat indah. Kami juga sudah selesai packing dan siap melanjutkan pendakian. Kurang lebih pukul 06.20 kami mulai mendaki kembali. Track yang dilewati lebih sulit. Batu-batu besar serta curam harus kami lewati satu persatu dengan tetap membawa carrier yang cukup merrepotkan. 
Pukul 08.00 akhirnya kami tiba di kawasan Hutan Lamtoro (2800 mdpl). Disitu banyak pohon lamtoro tapi tidak terlalu padat, ada beberapa tanah kosong yang hanya ditumbuhi rerumputan dengan medan yang agak curam. Tapi dengan begitu, kami dapat melihat jelas track pendakian di bawah, serta tegaknya gunung sumbing di depan kami. Melihat kondisi Nur yang kelelahan, akhirnya kami masak sarapan pagi di kawasan Hutan Lamtoro. Setelah berdiskusi sejenak, serta merelakan ego pribadi, saya dan Jodi melanjutkan perjalanan menuju batu tatah. Sedangkan Fay dan Nur masak untuk sarapan di Hutan Lamtoro. Kami menitipkan carrier ke Fay dan Nur agar pendakian menuju batu tatah lebih ringan dan cepat. 
“kira-kira berapa lama fan sampe ke batutatah?” Tanya Jodi. “ya, satu setengah jam lah jod, kan kita ga bawa carrier, apalagi lapar pasti ingin cepat naik dan cepat turun he “candaku yang diiringi tawa mereka. 
Dengan bekal setengah liter air mineral, beberapa potong roti, dan satu bungkus mie instan saya dan Jodi melanjutkan pendakian. Di jalan, kami sering berpapasan dengan pendaki lain baik yang naik atau turun gunung. Salah satunya kami berpapasan dengan “keluarga pendaki” yang terdiri dari Bapak, Ibu, serta tiga orang anak. Dua orang seumuran remaja, dan satu orang masih balita. Hebat bukan? Sepertinya si bungsu itu baru berumur 5 tahun. dengan gaya manja nya dia meminta dan merengek kepada kakaknya agar makanannya di bagikan secara rata. Lucu dan gemas melihatnya. Sedangkan Ibu dan ayahnya dengan tergopoh-gopoh menyusul anak-anaknya yang sudah hampir mencapai batu tatah. “Jod, tu anak kecil aja bisa, masa kita ga bisa” candaku kepada Jodi yang mulai terlihat kelelahan. 
Kami akhirnya beristirahat sembari menghabiskan roti tawar dan mie instan yang kami bawa. Sambil melihat pemandangan sekitar serta keharmonisan “keluarga pendaki”. Saying kabut tebal tiba-tiba datang dan menutup pemandangan indah itu. Suhu pun menjadi sangat dingin. Kita harus segera berjalan. “Fan, kita turun aja yu,, aku ga ada motivasi lagi naek. Ditambeh lapar belum sarapan” . “hehe,, bilang aja lapar jod, “balasku. Waktu yang sudah siang, sekitar pukul 10.00 serta kabut yang semakin tebal memaksa kami untuk segera turun dan menyantap sarapan yang disiapkan Fay dan Nur. Saat itu kami baru samai ketinggian sekitar 2870 mdpl. Kami menargetkan agar selepas ashar sudah sampai di basecamp. Karena penyewaan tenda dan peralatan lainnya dibatasi hanya sampai malam ini. Kalau kelewat kami kena denda. Hanya membutuhkan waktu setengah jam, untuk turun kembali ke batu tatah. Dari kejauhan kami melihat fay dan nur sudah siap menghidangkan sarapan. Nasi putih, sayur oseng tempe, serta telur dadar dan bumbu pecel. Sangat sedap. Ditambah, kondisi perut yang sedari kemarin sore sama sekali belum diisi oleh sebutir nasi pun. Kami berempat makan dengan lahap, sambil memandang gagahnya gunung Sumbing. 
Pukul 10.30 kami mengakhiri sarapan yang nikmat, serta merapihkan barang-barang dan segera menuruni gunung sindoro yang mempesona, meskipun puncaknya sama sekali tak terlihat. Selema menuruni gunung sindoro, kami tidak lupa untuk membawa sampah-sampah non organic agar tidak mencemari keasrian gunung. Tapi sayang, di area pos tiga banyak sekali kami temukan sampah-sampah plastic berserkana, bekas bungkus mie, roti, kopi, susu, dan sampah plastic lainnya. Sungguh sangat mengganggu dan mencemari. Mungkin mereka inilah yang disebut pendaki “karbitan”. Hanya menikmati alam, bukan mencintai alam! . semoga pendaki seperti ini tidak ditemukan di gunung –gunung lainnya. Hujan besar menemani kami menuruni pos 3 menuju pos 2. Baru mulai reda saat kami tiba di pos 1. Badan kami basah kuyup meskipun ditutupi mantel. Kaki serta persendian mulai terasa ngilu. Nur dan Jodi memutuskan untuk menggunakan ojek, saat menuruni pos 1 menuju basecamp. Saya dan Fay tetap berjalan sambil menikmati pemandangan lahan pertanian yang hijau dan segar. Pukul 16.00 kami semua sudah tiba di basecamp. Sungguh perjalanan yang singkat, namun berkesan. Keindahan alam gunung Sindoro serta pemandangan gagahnya gunung Sumbing tak kan terlupakan. Ini juga bentuk kecintaan kami terhadap Indonesia. Kecintaan terhadap indahnya alam Indonesia. Semoga para pendaki dan pecinta alam tidak hanya menikmati alam Indonesia, tetapi dengan mencintai alam Indonesia. 
Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal akan objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesaia bersama rakyatnya dari dekat. Karena itulah kami naik gunung! (Soe Hok Gie). 
Kledung, Parakan Temanggung 21-22 Maret 2015
Irfan Fauzi



Jumat, 15 April 2016

Belajar dari Perjuangan Kartini



Setiap tanggal 21 April, kita selalu memperingati Hari Kartini. Asal mula peringatan tersebut adalah Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964 tertanggal 2 Mei 1964. Sejak saat itu, setiap tanggal 21 April, bangsa Indonesia memperingatinya sebagai Hari Kartini.
Pramoedya Ananta Toer dalam pengantarnya di buku Panggil Aku Kartini Saja mengungkapkan bahwa: “Kartini adalah orang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia yang menutup zaman tengah, zaman feodalisme pribumi yang “sakitan” menurut istilah Bung Karno.” Sementara Dr. Ny. Hurustiati Subandrio dalam kata sambutannya di buku karya Pram tersebut menuliskan bahwa, walaupun berasal dari kalangan bangsawan, Kartini memiliki jiwa demokratis yang mendasari segala pandangannya terhadap soal-soal sosial-ekonomi, maupun politis serta senantiasa mencari pemecahan atas nasib rakyat Indonesia.
Sejarah Perjuangan
R.A. Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879. Ia merupakan seorang putri dari Bupati Jepara. Meskipun termasuk dalam keturunan kaum bangsawan, namun Kartini memiliki keterbatasan atau kesempatan yang minim dalam mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
Sebab, ketika Kartini menginjak usia 12 tahun, ia harus menjalani pingitan (adat). Dan ironisnya, anak-anak perempuan pada masa itu tidak bisa berbuat apa-apa mereka hanya bisa menurut saja, hingga akhirnya mereka dinikahkan dengan orang yang tidak dikenalnya. Tapi, Kartini justru ingin melanjutkan sekolah ke Belanda atau ke tingkat yang lebih tinggi. Namun, itu tidak berhasil diwujudkannya karena Kartini tidak mengantongi izin dan restu dari orang tua dan lingkungannya.
Ketika memasuki usia 16 tahun, Kartini bebas dari masa pingitannya, meskipun begitu semangat dan cita-cita Kartini untuk belajar ke Belanda tetap tinggi. Kartini terus mencoba mewujudkan cita-citanya agar dapat mendapat izin bersekolah di beberapa sekolah seperti sekolah dokter atau sekolah guru di Betawi, atau belajar bidan di Mojowarno.
Sembari menunggu izin dari Pemerintah untuk belajar menjadi guru di Betawi, Kartini dan adiknya mendirikan sekolah. Ketika izin dari Pemerintah itu diterima Kartini, Kartini tidak bisa mewujudkan cita-citanya karena akan menikah. Hingga akhir hayatnya, Kartini tidak bisa menikmati dan mewujudkan cita-citanya agar bisa bersekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Tahun 1903, Kartini menikah dan setahun berikutnya 13 September 1904 putranya lahir, empat hari  setelah melahirkan 17 September 1904 Kartini meninggal dunia.
Pelajaran Penting
Jika melihat pengalaman hidup yang dialami Kartini, maka setidaknya terdapat dua pelajaran penting yang dapat kita teladani. Pertama, cita-cita Kartini. Sejak awal, Kartini memiliki cita-cita besar untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Meskipun, sampai ia meninggal, ia belum merasakan jenjang pendidikan tinggi yang ia impikan.
Kedua, semangat perjuangan Kartini. Meskipun pada akhirnya Kartini tidak berhasil mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, namun ia telah menunjukkan kegigihan dan semangat tinggi dalam memperjuangkan hak-hak pendidikan kaum perempuan. Hal ini bisa kita simak dari salah satu kutipan surat yang pernah ia tulis berikut:
"Kami disini meminta, ya memohon, meminta dengan sangatnya supaya diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan,bukanlah sekali-kali karena kami hendak menjadikan anak perempuan itu sebagai saingan orang laki-laki dalam perjuangan ini, melainkan karena kami,--oleh sebab sangat yakin akan besar pengaruh yang mungkin datang dari kaum perempuan hendak menjadikan perempuan itu lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan oleh alam sendiri ke dalam tangannya, menjadi ibu-pendidik manusia yang pertama-tama. Bukankah dari perempuanlah manusia itu mula-mula sekali mendapatkan didikannya yang biasanya bukan tidak penting artinya bagi manusia selama hidupnya. (Armijn Pane: 198)”. Wallahu a’lam.