Senin, 08 April 2019

Profesi Jurnalis/Wartawan


UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers pada pasal 1 ayat 4 menjelaskan bahwa wartawan atau jurnalis merupakan orang yang secara teratur melakukan kegiatan jurnalistik. Kegiatan tersebut mencakup: mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik, maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran lainnya (Yunus, 2010).
Wartawan atau jurnalis merupakan salah satu profesi yang dapat dipilih oleh orang-orang yang tertarik dalam dunia pewartaan suatu kejadian atau peristiwa. Secara lebih lanjut, Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan bahwa profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi keahlian (keterampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu. Dengan demikian, sebagai sebuah profesi, maka seorang wartawan dituntut untuk memiliki kompetensi tertentu agar pekerjaan tersebut dapat dikategorikan sebagai profesi. Kompetensi merupakan kemampuan seseorang yang dapat terobservasi yang mencakup pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam menyelesaikan suatu pekerjaan atau tugas sesuai dengan perform yang ditetapkan (Rivai, 2009). Kompetensi dibangun atas enam hal, yaitu (Ruky, 2006):
1.      keahlian atau kecakapan melakukan sesuatu dengan baik;
2.      pengetahuan mencakup informasi yang dikuasai dalam bidang tertentu;
3.      peran sosial berupa citra yang diproyeksikan seseorang kepada orang lain;
4.      citra diri berupa persepsi individu tentang dirinya;
5.      karakteristik yang relatif konstan; dan
6.      motif yang mendorong individu bertindak dan berperilaku.
Berkaitan dengan kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang pengemban profesi wartawan, Peraturan Dewan Pers nomor 1 tahun 2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan menjelaskan bahwa wartawan Indonesia dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu: Wartawan Muda, Wartawan Madya dan Wartawan Utama. Masing-masing tingkatan wartawan tersebut memiliki kompetensi yang berbeda-beda. Wartawan muda harus memiliki kompetensi melakukan kegitan jurnalistik, wartawan madya harus memiliki kompetensi pengelolaan kegiatan jurnalistik, dan Wartawan utama harus memiliki kompetensi untuk mengevaluasi dan memodifikasi proses kegiatan jurnalistik.
Orang yang berkutat dalam sebuah profesi selanjutnya akan dapat disebut sebagai seorang profesional. Seseorang dapat disebut sebagai profesional apabila memenuhi beberapa syarat, yaitu: (1) memiliki knowledge yang diperlukan oleh profesi itu; (2) memiliki skill yang diperlukan, dan (3) senantiasa bersikap profesional (Rivai, 2009). Berdasarkan ketentuan tersebut, maka perlu adanya pengujian para calon pengemban profesi dengan melakukan beberapa hal berikut. Pertama, sangat mengutamakan evaluasi rasionalitas kognitif yang diterapkan pada bidang khusus tertentu karenanya sangat menekankan unsur intelektual. Kedua, kriteria penguasaan tradisi kultural dalam menggunakan keahlian tertentu. Dalam lingkungan suatu profesi berlaku suatu sistem nilai yang berfungsi sebagai standar nomatif yang harus menjadi kerangka orientasi dalam pengembangan profesi yang bersangkutan. Ketiga, untuk menjamin bahwa kompetensi dari suatu kompleksitas okupasi (sistem sosial pekerjaan) akan digunakan dengan cara-cara yang secara sosial bertanggungjawab, maka haruslah memiliki sejumlah sarana institusional, berupa organisasi profesi, etika dan kode etik profesi dengan prosedur penegakannya, serta cara rekrutasi pengemban profesi (Dahlan, 2011).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa wartawan sebagai sebuah profesi yang bertindak sebagai perantara antara peristiwa dengan masyarakat, pada hakekatnya ialah sebuah okupasi atau lapangan pekerjaan yang memenuhi kualifikasi dan menuntut syarat keahlian tinggi kepada para pengemban dan pelaksananya. Oleh sebab itu, wartawan harus memiliki lima kompetensi dasar berikut (Donsbach, 2010):
1.      mengetahui proses terjadinya peristiwa, mengaitkan dengan sejarah dan memikirkan secara analitik;
2.      mempunyai keahlian dan pengetahuan yang memadai atas hal yang dilaporkan;
3.      mempunyai keahlian dan keterampilan berkomunikasi;
4.      mempunyai keterampilan dalam hal jurnalistik;
5.      mempunyai kode etik yang dipatuhi dalam menjalankan profesi sehari hari.
Secara lebih lanjut, Adinegoro (1961), salah seorang perintis pers Indonesia dalam Shobur (2001) juga menambahkan bahwa untuk dapat dikategorikan sebagai seorang wartawan yang baik, maka wartawan harus memiliki sejumlah sikap yang harus ditanam dan dipupuk dalam mendedikasikan tugasnya sebagai seorang wartawan, yaitu:
a.       minat yang mendalam terhadap masyarakat dan apa yang terjadi dengan manusianya;
b.      sikap ramah tamah terhadap segala jenis manusia dan pandai membawa diri;
c.       dapat menimbulkan kepercayaan orang yang dihadapi;
d.      kesanggupan berbicara dan menulis dalam bahasa Indonesia, dan lebih baik jika menguasai berbagai bahasa asing;
e.       memiliki daya peneliti yang kuat dan setia kepada kebenaran;
f.       memiliki rasa tanggung jawab dan ketelitian;
g.      kerelaan mengerjakan lebih dari apa yang ditugaskan;
h.      kesanggupan bekerja cepat;
i.        selalu bersikap objektif;
j.        memiliki minat yang luas;
k.      memiliki daya analisis;
l.        memiliki sifat reaktif;
m.    teliti dalam mengobservasi;
n.      suka membaca;
o.      suka memperkaya bahasa.
Di Indonesia sendiri, idealiasi mengenai perlunya memperhatikan kompetensi wartawan mulai menjadi perhatian pada jaman Orde Reformasi (Syahri, 2018). Menurut Peraturan Dewan Pers Nomor 1/Peraturan DP/II/2010 tentang Standar Kompetensi Wartawan,  diberikan penjelasan setidaknya terdapat enam tujuan dari Standar Kompetensi Wartawan yaitu: (1) meningkatkan kualitas dan profesionalitas wartawan; (2) menjadi acuan sistem evaluasi kinerja wartawan oleh perusahaan pers; (3) menegakkan kemerdekaan pers berdasarkan kepentingan publik; (4) menjaga harkat dan martabat kewartawanan sebagai profesi khusus penghasil karya intelektual; (5) menghindarkan penyalahgunaan profesi wartawan; dan (6) menempatkan wartawan pada kedudukan strategis dalam industri pers. Jadi, berdasarkan tujuan tersebut, dapat diketahui bahwa wartawan profesional bekerja dengan standar sistem tersendiri untuk menjaga checks and balance pewartaan yang diberikan kepada masyarakat dengan memenuhi kode-kode etik yang dimiliki sebagai pedoman dalam menjalankan pekerjaannya. Secara lebih lanjut, dalam rumusan dewan pers (Nuruddin, 2009), dijelaskan bahwa terdapat tiga kategori kompetensi yang harus dipunyai seorang wartawan, yaitu:
1.     kesadaran tentang etika, hukum, dan karier;
2.     memiliki pengetahuan umum dan khusus sesuai dengan bidang yang bersangkutan; dan
3.     mempunyai keterampilan menulis, wawancara, riset, investigasi, cakap menggunakan berbagai peralatan penujang kerja.
Sebagai upaya untuk memperbaiki kualitas wartawan Baran dalam Mass Communication Theory: Foundations, Ferment, and Future (2012) juga mengingatkan bahwa ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh seorang wartawan, yaitu: (1)  profesional di setiap bidang, termasuk Jurnalistik, merasa enggan untuk menyelidiki dan memprotes kolega yang melanggar standar profesi; (2) standar profesi seringkali abstrak dan kabur; (3) dibandingkan dengan bidang kedokteran atau hukum, pembentukan profesional media tidak memiliki standar pelatihan dan lisensi; (4) dibandingkan dengan profesi lain, praktisi media kerap memiliki kontrol yang kurang independen terhadap pekerjaan mereka sendiri; (5) dalam industri media, pelanggaran terhadap standar profesi jarang sekali memiliki dampak langsung dan dapat diamati.
Secara lebih rinci, pasal 6 Kode Etik Jurnalistik menjelaskan bahwa wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Selanjutnya, dalam penafsirannya disebutkan cara-cara yang profesional yang dimaksud adalah sebagai berikut.
a.       menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
b.      menghormati hak privasi;
c.       tidak menyuap;
d.      menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
e.       rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
f.       menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
g.      tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;
h.      penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.


Sumber:
Supadiyanto, 2019. Pengantar Jurnalisme Konvergentif. Yogyakarta: Pustaka Baru Press

Minggu, 07 April 2019

Manajemen Aksi Demonstrasi Damai

Bagaimana caranya mengadakan aksi, agar pesan dari aksi dapat  tersampaikan dan aksi berlangsung tertib ?
Bentuk penyampaian aspirasi kepada pemerintah serta penyampaian pesan kepada masyarakat di dalam negara demokrasi seperti di Indonesia dengan melakukan aksi massa atau demostrasi secara damai. Aksi sebagai bentuk peran publik dalam penegakan sebagai guardian of value dari pemerintah serta masyarakat. Mengapa cara yang dipilih adalah aksi? karena aksi berdampak pada dua sisi, yakni sisi ketersampaian pesan kepada pihak yang diinginkan serta penyadaran masyarakat atas sebuah isu. Sehingga aksi masih menjadi cara yang relevan untuk dilakukan.
Penggunaan kata aksi lebih akrab dan lembut ketimbang demonstrasi yang terkadang dinilai negatif oleh berbagai pihak, sedangkan damai adalah untuk mencirikan bahwa lembaga dakwah mempunyai etika ketika beraksi, dimana ia tidak mengganggu hak dari masyarakat lainnya. Citra lembaga dakwah kampus yang selalu damai dan tertib dalam melakukan aksi adalah keunggulan tersendiri bagi kita, ini membuat pesan yang disampaikan dalam aksi dapat sampai dengan jelas kepada pihak yang diinginkan.
Pada bagian ini saya akan menyampaikan cara-cara sederhana yang dapat ditempuh untuk mengadakan aksi massa damai yang bisa dilakukan oleh lembaga dakwah kampus. Isu demonstrasi umumnya terkait sosial masyarakat, dan isu keagamaan. Dua isu ini bisa berkembang menjadi berbagai isu turunan lainnya. Saya akan membagi pembahasan dalam 3 tahap, yakni pra-aksi, saat aksi, dan pasca aksi untuk memudahkan pemahaman Anda semua.
Pra Aksi

Sabtu, 06 April 2019

Ruang Lingkup Pers, Penyiaran, dan Jurnalistik


Pers secara sederhana dapat disebut penyiaran atau publikasi secara tercetak. Jurnalistik merupakan pekerjaan mengumpulkan, menulis, menyunting, dan menyebarkan berita dan karangan untuk surat kabar, majalah, dan media massa lainnya seperti radio dan televisi (Tahrun, 2016). Selanjutnya, penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran. Dengan demikian, ketiga istilah ini dalam pengertian yang sama. Dalam artian, kegiatan mencari, mengolah, dan menyajikan informasi untuk publik melalui media massa seperti surat kabar, televisi, radio, dan lain-lain.
Ruang lingkup pers, penyiaran, dan jurnalistik merupakan batasan lahan jurnalistik. Ruang lingkup ini mencakup semua bidang kerja jurnalistik, mulai dari sumber karya jurnalistik, berita sampai pada penjelasan masalah hangat (Abdullah, 1992). Ruang lingkup jurnalistik ini sama dengan ruang lingkup pers (Tahrun, 2016). Jadi, ruang lingkup ini berlaku baik untuk jurnalistik pers maupun jurnalistik media penyiaran seperti radio dan televisi.
Dalam garis besar jurnalistik, Palapah dan Syamsudin dalam Diktat “Dasar-Dasar Jurnalistik” membagi ruang lingkup jurnalistik ke dalam dua bagian, yaitu news dan views.