Jumat, 15 April 2016

Belajar dari Perjuangan Kartini



Setiap tanggal 21 April, kita selalu memperingati Hari Kartini. Asal mula peringatan tersebut adalah Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964 tertanggal 2 Mei 1964. Sejak saat itu, setiap tanggal 21 April, bangsa Indonesia memperingatinya sebagai Hari Kartini.
Pramoedya Ananta Toer dalam pengantarnya di buku Panggil Aku Kartini Saja mengungkapkan bahwa: “Kartini adalah orang pertama dalam sejarah bangsa Indonesia yang menutup zaman tengah, zaman feodalisme pribumi yang “sakitan” menurut istilah Bung Karno.” Sementara Dr. Ny. Hurustiati Subandrio dalam kata sambutannya di buku karya Pram tersebut menuliskan bahwa, walaupun berasal dari kalangan bangsawan, Kartini memiliki jiwa demokratis yang mendasari segala pandangannya terhadap soal-soal sosial-ekonomi, maupun politis serta senantiasa mencari pemecahan atas nasib rakyat Indonesia.
Sejarah Perjuangan
R.A. Kartini lahir pada tanggal 21 April 1879. Ia merupakan seorang putri dari Bupati Jepara. Meskipun termasuk dalam keturunan kaum bangsawan, namun Kartini memiliki keterbatasan atau kesempatan yang minim dalam mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
Sebab, ketika Kartini menginjak usia 12 tahun, ia harus menjalani pingitan (adat). Dan ironisnya, anak-anak perempuan pada masa itu tidak bisa berbuat apa-apa mereka hanya bisa menurut saja, hingga akhirnya mereka dinikahkan dengan orang yang tidak dikenalnya. Tapi, Kartini justru ingin melanjutkan sekolah ke Belanda atau ke tingkat yang lebih tinggi. Namun, itu tidak berhasil diwujudkannya karena Kartini tidak mengantongi izin dan restu dari orang tua dan lingkungannya.
Ketika memasuki usia 16 tahun, Kartini bebas dari masa pingitannya, meskipun begitu semangat dan cita-cita Kartini untuk belajar ke Belanda tetap tinggi. Kartini terus mencoba mewujudkan cita-citanya agar dapat mendapat izin bersekolah di beberapa sekolah seperti sekolah dokter atau sekolah guru di Betawi, atau belajar bidan di Mojowarno.
Sembari menunggu izin dari Pemerintah untuk belajar menjadi guru di Betawi, Kartini dan adiknya mendirikan sekolah. Ketika izin dari Pemerintah itu diterima Kartini, Kartini tidak bisa mewujudkan cita-citanya karena akan menikah. Hingga akhir hayatnya, Kartini tidak bisa menikmati dan mewujudkan cita-citanya agar bisa bersekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Tahun 1903, Kartini menikah dan setahun berikutnya 13 September 1904 putranya lahir, empat hari  setelah melahirkan 17 September 1904 Kartini meninggal dunia.
Pelajaran Penting
Jika melihat pengalaman hidup yang dialami Kartini, maka setidaknya terdapat dua pelajaran penting yang dapat kita teladani. Pertama, cita-cita Kartini. Sejak awal, Kartini memiliki cita-cita besar untuk mendapatkan pendidikan tinggi. Meskipun, sampai ia meninggal, ia belum merasakan jenjang pendidikan tinggi yang ia impikan.
Kedua, semangat perjuangan Kartini. Meskipun pada akhirnya Kartini tidak berhasil mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, namun ia telah menunjukkan kegigihan dan semangat tinggi dalam memperjuangkan hak-hak pendidikan kaum perempuan. Hal ini bisa kita simak dari salah satu kutipan surat yang pernah ia tulis berikut:
"Kami disini meminta, ya memohon, meminta dengan sangatnya supaya diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan,bukanlah sekali-kali karena kami hendak menjadikan anak perempuan itu sebagai saingan orang laki-laki dalam perjuangan ini, melainkan karena kami,--oleh sebab sangat yakin akan besar pengaruh yang mungkin datang dari kaum perempuan hendak menjadikan perempuan itu lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan oleh alam sendiri ke dalam tangannya, menjadi ibu-pendidik manusia yang pertama-tama. Bukankah dari perempuanlah manusia itu mula-mula sekali mendapatkan didikannya yang biasanya bukan tidak penting artinya bagi manusia selama hidupnya. (Armijn Pane: 198)”. Wallahu a’lam.

0 komentar:

Posting Komentar