1.
PENGERTIAN KONFLIK
Konflik berasal dari kata kerja Latin
configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan
sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok)
dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan
menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Menurut
Webster (1966), istilah “conflict” di dalam bahasa aslinya berarti suatu
“perkelahian, peperangan atau perjuangan” yaitu berupa konfrontasi fisik dan
psikologis antara beberapa pihak.
Menurut
Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan
sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya
keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau
lebih pihak secara berterusan.
Tidak satu masyarakat pun yang tidak
pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat
lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu
sendiri.
2.
PENYEBAB
KONFLIK
Faktor
Penyebab Konflik Secara Umum:
1.
Modernisasi
dan globalisasi yang jauh memasuki masyarakat Indonesia.
2.
Sifat
rasisme bangsa Indonesia yang mengangap agama yang dianut adalah yang paling
benar sedangkan yang lain salah.
3.
Masyarakat
Indonesia dalam budaya kekerasan.
4.
Ketidakadilan
sosial dalam bangsa Indonesia, kebanyakan
korban pemerintah hanya menguntungkan golongan atas.
Pada
pertemuan ke 12 telah dijelaskan bahwa penyebab Umum konflik agama ada 3 yaitu:
1.
Ajaran
agama
2.
Tokoh
agama
3.
Pola
penyebaran agama
Pada
kesempatan ini, penulis menambahkan empat hal pokok sebagai sumber konflik
sosial yang bersumber dari agama ( Hendropuspito, Sosiologi Agama (Yogyakarta:
Kanisius, 1983) 151-168), yaitu:
1.
Perbedaan
Doktrin dan Sikap Mental
Semua pihak umat beragama yang sedang terlibat dalam bentrokan
masing-masing menyadari bahwa justru perbedaan doktrin itulah yang menjadi
penyebab dari benturan itu.
Dalam skala penilaian yang dibuat (subyektif) nilai tertinggi
selalu diberikan kepada agamanya sendiri dan agama sendiri selalu dijadikan
kelompok patokan, sedangkan lawan dinilai menurut patokan itu. Karena itu,
faktor perbedaan doktrin dan sikap mental dalam kelompok masyarakat Islam dan Kristen punya andil sebagai pemicu
konflik.
2.
Perbedaan Suku dan Ras Pemeluk Agama
Tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan ras dan agama
memperlebar jurang permusuhan antar bangsa. Perbedaan suku dan ras ditambah
dengan perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan
antar kelompok dalam masyarakat.
Contoh di wilayah Indonesia, antara Suku Aceh dan Suku Batak
di Sumatera Utara. Suku Aceh yang beragama Islam dan Suku Batak yang beragama Kristen;
kedua suku itu hampir selalu hidup dalam ketegangan, bahkan dalam konflik fisik
(sering terjadi), yang merugikan ketentraman dan keamanan.
3.
Perbedaan Tingkat Kebudayaan
Agama sebagai bagian dari budaya bangsa manusia. Kenyataan
membuktikan perbedaan budaya berbagai bangsa di dunia tidak sama. Secara
sederhana dapat dibedakan dua kategori budaya dalam masyarakat, yakni budaya
tradisional dan budaya modern.
Perbedaan budaya dalam kelompok masyarakat yang berbeda agama
di suatu tempat atau daerah pada kenyataannya merupakan faktor pendorong yang
ikut mempengaruhi terciptanya konflik antar kelompok agama di Indonesia.
4.
Masalah Mayoritas dan Minoritas Golongan Agama
Fenomena konflik sosial mempunyai aneka penyebab. Tetapi
dalam masyarakat agama pluralitas penyebab terdekat adalah masalah mayoritas
dan minoritas golongan agama.
Di berbagai tempat terjadinya konflik, massa yang mengamuk
adalah yang beragama Islam yaitu sebagai kelompok mayoritas;
sedangkan kelompok yang ditekan dan mengalami kerugian fisik dan mental adalah
orang Kristen yang minoritas di Indonesia. Sehingga nampak kelompok Islam yang
mayoritas merasa berkuasa atas daerah yang didiami lebih dari kelompok
minoritas yakni orang Kristen. Karena itu, di beberapa tempat orang Kristen
sebagai kelompok minoritas sering mengalami kerugian fisik, seperti:
pengrusakan dan pembakaran gedung-gedung ibadat.
3.
CONTOH
KONFLIK SOSIAL BERNUANSA AGAMA
A. Antara umat Muslim dengan umat non Muslim
§ Konflik Poso
Penyebab
secara agamanya yaitu
hari natal bertepatan dengan bulan ramadhan dimana masyarakat muslim dan polisi
setempat menertibkan
tempat-tempat maksiat dan hal ini ditentang oleh pemuda-pemuda kristiani yang
saat itu sedang merayakan natal. Selain itu, konflik ini juga disebabkan oleh
faktor lain seperti, faktor politik yang semakin memanaskan
suasana yang pada waktu itu terjadi pemilihan bupati yang kandidatnya berasal
dari agama yang berbeda.
§ Kasus tragedi berdarah Maluku
Seperti
diberitakan bahwa di zaman orde baru keanggotaan dalam organisasi Islam tertentu memberikan jaminan
kepada para anggotanya di Ambon untuk bisa memenangkan berbagai tingkat jabatan di pemerintahan. Hal ini membuat kelompok Kristen
di Ambon termajinalisasi dari lingkup kekuasaan birokrasi, sehingga mereka
melakukan tindak kekerasan terhadap orang-orang Islam. Sekalipun konflik Maluku
berasal dari persaingan politik untuk menguasai jabatan birokrasi pemerintahan,
konflik ini menjadi perseteruan antar penganut agama.
B. Konflik internal umat Muslim
§ Konflik Ahmadiyah, Banten
Penyebabnya : konflik besar
dan berdarah serta menewaskan beberapa orang ini bermula karena Aliran Ahmadiyah yang tersebut meyakini bahwa ada nabi lagi
setelah nabi Muhammad SAW, hal ini adalah sebagai suatu kesalahan
terbesar yang dianut aliran ini. Inilah yang memicu
kemarahan umat Islam di Cikeusik, pandeglang Banten kepada
aliran ini.
4.
RESOLUSI KONFLIK
Ø Setelah melihat contoh-contoh konflik
yang ada di Indonesia, ternyata cara-cara yang tepat untuk menyelesaikan konflik
yang terjadi adalah :
1.
Melaksanakan
serangkaian pertemuan, dialog, dan tatap muka yang melibatkan tokoh-tokoh agama
dan adat serta segenap instansi pemerintah untuk mencari kesepakatan.
2. Menciptakan suasana dan meningkatkan
keamanan melalui langkah-langkah: menghentikan dan mencegah terulangnya
konflik, melakukan patrol intensif, menempatkan pos pengamanan di daerah rawan,
pembersihan senjata dan amunisi illegal dan tindakan tegas terhadap individu
atau kelompok yang melawan hukum.
3. Memberikan santunan kepada para korban
kerusuhan.
4. Refungsionalisasi dan pembangunan baru
sarana ekonomi dan transportasi.
5. melakukan proses peradilan terhadap
para pelaku yang bersalah dan bertanggung jawab dalam kerusuhan.
6. Melakukan bimbingan kerohanian secara kontinu
untuk memulihkan traumatik
masyarakat akibat kerusuhan melalui berbagai lembaga dan kegiatan keagamaan, sosial dan remaja.
Ø Sedangkan Secara teoritis ada beberapa macam
model penyelesaian konflik yang berlaku secara umum, antara lain :
· Pertama, model penyelesaian berdasarkan
sumber konflik. Dalam model ini, untuk bisa penyelesaian konflik dituntut untuk
terlebih dahulu diketahui sumber-sumber konflik: apakah konflik data, relasi,
nilai, struktural, kepentingan dan lain sebagainya. Setelah diketahui
sumbernya, baru melangkah untuk menyelesaikan konflik. Setiap sumber masalah
tentunya memiliki jalan keluar masing-masing sehingga menurut model ini, tidak
ada cara penyelesaian konflik yang tunggal.
·
Kedua,
model Boulding. Model Boulding menawarkan metode mengakhiri konflik dengan tiga
cara, yakni : Menghindar, menaklukkan, dan mengakhiri
konflik sesuai prosedur.
1. Menghindari konflik adalah menawarkan
kemungkinan pilihan sebagai jawaban terbaik. Akan tetapi, harus diperhatikan bahwa ini hanya
bersifat sementara agar kedua pihak dapat memilih jalan terbaik mengakhiri
konflik.
2. Menaklukkan pengerahan semua kekuatan untuk
mengaplikasikan strategi perlawanan terhadap konflik.
3. Mengakhiri konflik melalui prosedur
rekonsiliasi atau kompromi adalah metode umum yang terbaik dan paling cepat
mengakhiri konflik.
·
Ketiga,
model pluralisme budaya. Model pluralisme budaya, dapat membantu untuk
melakukan resolusi konflik. Misalnya, individu atau kelompok diajak memberikan
reaksi tertentu terhadap pengaruh lingkungan sosial dengan mengadopsi
kebudayaan yang baru masuk. Inilah yang kemudian disebut sebagai asimilasi
budaya. Selain asimilasi, faktor yang bisa membuat kita menyelesaikan konflik
adalah akomodasi. Dalam proses akomodasi, dua kelompok atau lebih yang
mengalami konflik harus sepakat untuk menerima perbedaan budaya, dan perubahan
penerimaan itu harus melalui penyatuan penciptaan kepentingan bersama. Soerjono Soekanto, Sosiologi Sautu Pengantar
(Jakarta: Rajawali Press, 1998), hal. 239.
· Keempat, model intervensi pihak ketiga.
Dalam model ini ada beberapa bentuk, yakni coercion, arbitrasi, dan mediasi.
1.
Coercion
adalah model penyelesaian konflik dengan cara paksaan, di mana masing-masing
pihak dipaksa untuk mengakhiri konflik.
2.
Arbitrasi
adalah penyelesaian konflik dengan cara mengambil pihak ketiga untuk memutuskan
masalah yang terjadi, dan keputusan pihak ketiga harus dipatuhi oleh
masing-masing pihak.
3. Mediasi berarti pihak ketiga hanya
berfungsi untuk menjembatani penyelesaian konflik yang terjadi dalam masyarakat.( Ibid., hal. 241).
Ø Resolusi
Konflik ala Nabi Muhammad SAW
1. Resolusi
pertama dikenal dengan Resolusi Makkah, yaitu Resolusi pasif dalam bentuk
defensif psikologis. Karakter dasar yang muncul dalam Resolusi Konflik Makkah
adalah menghindari potensi konflik. Bentuk resolusi konflik makkah lebih
mengedepankan solusi psikologis seperti penyampaian doktrin agama yang sejuk
dan lebih menyentuh publik dari pada aspek individu, menghindari konflik
terbuka dan mengembangkan mentalitas kesabaran kalangan umat.
2. Exile
Resolution : lebih menyentuh aspek materiil, yaitu munculnya kebijakan
penempatan komunitas muslim di tempat yang aman karena semakin meningkatnya
intensitas gangguan dan merebaknya ancaman yang
diterima kaum muslimin.
3. Defense
Resolution : menindaklanjuti efektifitas dari exile resolution yaitu setelah
daerah aman permanen ditemukan dan consensus politik Muhammad dengan suku
Madinah telah terjalin. Ditandai dengan mulai beraninya masyarakat muslimin melakukan sabotase perdagangan
dengan kaum Quraysh.
4. Aktive Resolutiom : pola ini lebih
cenderung offensive yaitu menyerang dan menghancurkan ancaman sumber potensi konflik. Bentuk pertahanannya muncul
setelah para militer muslim mendapat ijin perang terbatas dan telah memiliki
pengalaman militer dalam beberapa pertempuran.
Ø Budaya Lokal sebagai Sarana Resolusi
Konflik
Selain model-model penyelesaian konflik
yang sudah ada secara teoretis di atas, harus diingat juga bahwa bangsa Indonesia
adalah bangsa besar yang memiliki keragaman budaya. Setiap budaya memiliki
kearifan-kearifan (Kebijaksanan)
tersendiri dalam menyikapi permasalahan hidup yang dihadapi. Termasuk
di dalamnya kearifan dalam menyelesaikan konflik. Kearifan-kearifan seperti
inilah yang sering disebut sebagai kearifan lokal (local wisdom).
·
Di antara
kearifan lokal yang sudah ada sejak dahulu dan masih terpelihara sampai
sekarang antara lain:
o dalihan natolu (Tapanuli),
o rumah betang (Kalimantan Tengah),
o menyama braya (Bali),
o saling Jot dan saling pelarangan (NTB),
o siro yo ingsun, ingsun yo siro (Jawa
Timur),
o alon-alon asal kelakon (Jawa Tengah/DI
Yogyakarta), dan
o basusun sirih (Melayu/Sumatra).
·
Tradisi
dan kearifan lokal yang masih ada serta berlaku di masyarakat, berpotensi untuk
dapat mendorong keinginan hidup rukun dan damai. Hal itu karena kearifan tradisi
lokal pada dasarnya mengajarkan perdamaian dengan sesamanya, lingkungan, dan
Tuhan.
·
Hal yang
sangat tepat menyelesaikan konflik dengan menggunakan adat lokal atau kearifan
lokal karena selama ini sudah membudaya dalam masyarakat. Oleh karena kearifan
lokal adalah sesuatu yang sudah mengakar dan biasanya tidak hanya berorientasi
profan semata, tetapi juga berorientasi sakral sehingga pelaksanaannya bisa
lebih cepat dan mudah diterima oleh masyarakat. Dengan adat lokal ini
diharapkan resolusi konflik bisa cepat terwujud, bisa diterima semua kelompok
sehingga tidak ada lagi konflik laten yang tersembunyi dalam masyarakat.
0 komentar:
Posting Komentar