Tepat pada tanggal sepuluh november enam puluh tujuh tahun
silam sebuah peristiwa bersejarah terjadi di Surabaya. Sepetik perjuangan yang
mencerminkan betapa besar nilai cinta masyarakat kepada Indonesia (baca;
nasionalisme) pada masa itu. Kenyataan itu bertolak belakang dengan keadaan
masyarakat Indonesia saat ini. Masyarakat mengalami degradasi nasionalisme yang
memprihatinkan. Banyak yang merasa malu mengakui keIndonesia-annya. Padahal perilaku nasionalisme yang telah ada
sejak nenek moyang itu sudah sepantasnya dimiliki dan dipertahankan oleh setiap
warga negara. Sebagai bekal menghadapi zaman yang semakin mengglobal.
Nasionalisme menciptakan setiap pemeluknya mempunyai jiwa
rela menyerahkan segala yang dimiliki untuk bangsanya. Berdasar hal itu
nasionalisme menjadi hal yang sangat penting bagi setiap bangsa dan negara. Nasionalisme
merupakan penentu eksistensi suatu negara. Dianggap atau tidaknya negara di
mata dunia bergantung pada seberapa besar tertanam rasa nasionalisme pada warganya. Hal ini menjadikan nasionalisme sebagai sasaran
pertama dan utama yang akan diinjak-injak oleh setiap negara berkepentingan menjajah
dan mengeksploitasi.
Nasionalisme menjadi pusat perhatian yang harus
dikembangkan. Dalam mengembangkan nasionalisme diperlukan penelaahan lebih
lanjut pada aspek historisnya. Mengkaji historisitas nasionalisme tak dapat
lepas dari pemikiran-pemikiran tokoh penggerak semangat nasionalisme. Salah
satu tokoh mumpuni pencetus nasionalisme adalah Hasan Al-Banna. Hasil-hasil
pemikirannya tak perlu diragukan lagi. Beliau mengklasifikasikan Nasionalisme
menjadi dua tipe; Nasionalisme kelompok dan Nasionalisme bangsa.
Nasionalisme
Kelompok
Jiwa nasionalisme memang harus dimiliki oleh penganut
kelompok. Ini menjadi modal utama berproses dalam suatu kelompok sosial. Ketika
seorang mengikuti kelompok tanpa memiliki rasa nasionalisme, maka akan
dipertanyakan keeksistensiannya. Apakah dia itu benar-benar anggota atau
sekedar musuh dalam selimut? Semakin tinggi rasa nasionalisme yang ia sematkan,
maka akan menjadi semakin baik. Karena ia akan menjadi sosok yang mampu dan
rela melakukan pembelaan mati-matian terhadap kelompok ketika sedang
dilecehkan.
Namun di sisi lain, sikap semacam ini mampu membuat setiap
orang yang terlibat mengedepankan ego kelompok dan mengesampingkan eksistensi
kelompok lain. Yang dianggap hanyalah kelompoknya, tak peduli nasib kelompok
lain. Sikap sosialis hanya akan ditunjukkan pada sesamanya. Fenomena ini menjadi
sumber pokok terjadinya negativisme sosial(perilaku social menyimpang).
Pernyataan ini dirasa tepat dan sesuai dengan fakta yang telah ada. Suatu
kelompok akan membuat justifikasi bahwa dirinyalah yang paling benar. Mereka
acuh tak acuh pada setiap pendapat yang keluar dari mulut kelompok lain. Bahkan
memungkiri dan mengingkari kebenaran yang ada pada kelompok lain.
Yang mereka lihat dan jadikan acuan hanya setitik kesalahan
yang ditorehkan oleh kelompok lain. Hal ini secara tidak langsung telah memberi
rambu-rambu bahwa kelompok lain harus dibenarkan. Bahkan jika ada berbuat kesalahan pada salah satu dari anggota
kelompok, maka akan dilakukan tuntut balas .
Konflik sosial yang terjadi di Lampung, Ambon, dan Sampit
adalah gambaran kecil negativisme sosial akibat dari hanya mengedepankan sikap
nasionalisme kelompok. Fanatisme terhadap kelompok yang over adalah pemicunya. Akibatnya, problem-problem kecil jika
berkaitan dengan kelompok, akan berubah menjadi problematika kompleks yang
berujung pertikaian. Ibarat sebuah tabung gas bocor diperciki dengan sedikit
api, terjadilah ledakan besar.
Nasionalisme
Bangsa
Peristiwa sepuluh november adalah sebuah potret nyata perwujudan
sikap nasionalisme bangsa. Dan nasionalisme seperti inilah yang diharapkan
menjadi landasan setiap tindakan masyarakat Indonesia. Fenomena nasionalisme
kebangsaan mampu melebur setiap perbedaan, menghilangkan garis-garis kederajatan,
menanggalkan nasionalisme kekelompokan, dan mempersatukan semua suku dan
kelompok. Bersatu dalam naungan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika.
Nasionalisme kebangsaan mampu membuat pihak manapun yang
mempunyai niat mengadu domba berpikir seribu kali. Ragu-ragu dan takut jika
usahanya berujung sia-sia. Semangatnya mampu mengalahkan setiap tindak keotoriteran.
Dapat diambil contoh Revolusi Iran.
Sikap nasionalisme anti kereziman dari rakyat mampu meruntuhkan kekuasaan Syah
Reza Pahlevi.
Menilik sejarah yang telah terjadi seharusnya Rakyat
Indonesia bisa mengambil ibrah. Menerapkan nasionalisme kebangsaan dalam satu
kesatuan dari Sabang sampai Merauke. Tidak ada lagi nasionalisme yang
dikelompok-kelompokkan. Merealisasikan nasionalisme sebagai salah satu identitas
bangsa. Sehingga mampu menghapus citra Indonesia di mata dunia sebagai Negara
Kekerasan. Pertikaian antar warga, kelompok, dan pelajar tidak boleh terulang
kembali di Bumi Merah Putih. Yang ada hanyalah persatuan dan gerakan anti
kerusuhan dalam satu nasionalisme kebangsaan. Wallahu a’lam bi al-shawab.
0 komentar:
Posting Komentar