Jumat, 28 Desember 2012

Islam Vs Budaya Jawa



Dalam antropologi budaya, kita dapat mengenal beragam suku dan budaya, salah satunya adalah masyarakat atau suku Jawa. Masyarakat Jawa adalah orang-orang yang dalam hidup kesehariannya menggunakan bahasa Jawa dengan ragam dialeknya secara turun temurun. Suku bangsa Jawa  adalah mereka yang bertempat tinggal di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta mereka yang berasal dari kedua  daerah tersebut. Secara geografis  suku bangsa Jawa mendiami tanah Jawa yang meliputi Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang dan Kediri, sedangkan diluar itu  dinamakan pesisir dan Ujung Timur. Surakarta dan Yogyakarta yang merupakan dua bekas kerajaan Mataram pada sekitar abad ke  XVI adalah pusat dari kebudayaan  Jawa. Keduanya adalah tempat kerajaan terakhir dari pemerintahan raja-raja Jawa (Kodiran, 1976).
Nenek moyang  suku bangsa Jawa tidak berbeda dari suku-suku bangsa Indonesia lainnya yang menempati Semenanjung Malaka, Kalimantan, Sumatra dan Jawa yang disebut daratan Sunda. Semula wilayah ini masih menjadi  satu dengan benua Asia sebelum es mencair dan memisahkan keduanya. Dari sisa peninggalan masing-masing budayanya dimungkinkan ada hubungan darah  di antara suku-suku tersebut, terutama dengan bangsa Asia Tenggara terutama Indo  China. Sementara itu, dibagian timur adalah dataran Sahul, yang memunculkan Irian dan Australia. Antara Sunda dan Sahul tersebar pulau-pulau Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, Banda dan Filipina.

Islam meskipun terlahir dari negeri Arab yang tandus, namun karena dibawa oleh Nabi pembawa risalah di akhir zaman, untuk menebarkan rahmat ke seluruh penjuru dunia. Meskipun, secara fisik sudah tidak ada, namun kebenaran risalah yang diembannya senantiasa terpancar sepanjang zaman, tidak terbatas oleh sekat-sekat daratan maupun lautan. Pada perkembanganya, dari waktu ke waktu semakin berkibar, hampir ke seluruh penjuru dunia, tidak ketinggalan pulau Jawa pun mendapat pancaran risalah tersebut.
Syi’ar Islam di luar pulau Jawa tidak begitu mengalami hambatan, hampir di semua daerah hanya dihadapkan pada budaya lokal dan Islam mendapat dukungan dari para penguasa setempat. Berbeda dengan di Jawa yang sarat dengan budaya asing. Islam masuk ke Jawa harus menghadapi masyarakat Jawa yang penuh dengan budaya mistis, bangunan kepercayaan Animisme-Dinamisme dan  agama Hindu-Budha yang sudah mengakar. Dakwah Islam untuk beberapa abad tidak mampu menembus dinding istana yang masih dipagari dengan kepercayaan Hindu-Budha Kejawen. Berbeda dengan syiar Islam di luar Jawa (seperti di Aceh), agama Islam dapat segera diterima oleh pihak kerajaan (Raja Samodra Pasai) sejak abad ke XIII (Boechari, 1971:9).
Masyarakat Jawa sebelum datangnya agama-agama asing dari luar, telah memiliki kepercayaan sendiri. Kepercayaan adanya kekuatan magis dan pemujaan terhadap ruh-ruh leluhur (animis-dinamis), mengembangkan kebudayaan berburu dan meramu, menangkap ikan, membuat perahu lesung dan kapak berbentuk cakram sejak zaman pra-sejarah (Koentjaraningrat, 1984:17). Mistik merupakan ajaran yang telah lama dikenal dan diyakini oleh orang Jawa. Kedatangan bangsa India (Hindu-Budha) juga mengajarkan mistik, yang kemudian diserap dan diolah oleh orang Jawa.
Datangnya bangsa India yang membawa kepercayaan dan peradaban baru membuat kebudayaan Jawa semakin berkembang bukannya tersisih. Ajaran Hindu-Budha dari India tersebut makin memperhalus peradaban dan tradisi Jawa, tradisi Jawa yang serba magis-mistis. Karena pada dasarnya ajaran Hindu-Budha sendiri penuh dengan ajaran mistis dan mitologis. Kesesuaian ajaran inilah yang membuat ajaran Hindu-Budha mudah dan cepat dicerna oleh masyarakat Jawa. Agama baru ini (Hindu dan Budha) berkembang dengan pesat, mengakar dalam segala lapisan kehidupan, sampai-sampai diyakini sebagai budaya Jawa asli.
Masuknya pengaruh kebudayaan dan kepercayaan India (Hindu-Budha) bersifat ekspansif, sedangkan kebudayaan Jawa yang menerima menyerap unsur-unsur Hinduisme-Budhisme. Prosesnya bukan sekedar akulturasi saja, tetapi yang terjadi justru kebangkitan budaya Jawa dengan memanfaatkan unsur-unsur agama India tersebut (Simuh, 1996:115). Kerajaan-kerajaan Jawa mulai diwarnai oleh kebudayaan India, maka menumbuhkan nuansa baru dalam kehidupan masyarakat jawa, khususnya kalangan kraton, yaitu nuansa Hindu-Kejawen. Berkat pengaruh kebudayaan India inilah kalangan istana mendapat perlakuan istimewa dari semua pihak. Raja sangat dikeramatkan dan menjadi pusat pengabdian, kerajaan menjadi semakin berwibawa dan kokoh. Pihak istana mewakili budaya lapisan atas dan rakyat awam sebagai figur budaya lapisan bawah, yang diwarnai nuansa mistis.
Masuknya agama Islam ke tanah Jawa, yang dibawa oleh kaum Ulama Sufi (mistikus Islam), untuk beberapa abad tidak mampu menembus lingkungan kerajaan atau kraton yang masih dipagari dengan kepercayaan Hindu-Kejawen. Sehingga dakwah Islam yang dilakukan oleh para Sufi dari daerah pesisiran pantai, yang secara geografis jauh dari lingkungan kerajaan. Masyarakat pesisir yang cenderung memiliki watak egaliter, tidak mengenal lapisan-lapisan masyarakat, cenderung menerima ajaran Islam yang mengajarakan persamaan hak dan derajat manusia. Berawal dari sinilah, keberhasilan dakwah Islam yang mengajarkan persamaan hak dan derajat manusia disambut dengan gembira oleh rakyat awam, bahkan dianggap sebagai penerang dari kegelapan. Tidak ada perbedaan antara rakyat dan pejabat, semua manusia sama derajatnya di sisi Allah SWT.
Dalam perkembangan dakwahnya, Islam akhirnya berhasil menjadi bagian hidup masyarakt pesisir, yang kemudian melahirkan komunitas baru yang berpusat di pesantren di sepanjang pesisir pantai. Puncak keberhasilan dakwah Islam ditandai dengan berdirinya kerajaan Demak dan rajanya yang pertama Raden Patah, bergelar Sultah Syah Alam Akbar memegang pemerintahan selama 43 tahun (1475 - 1518) (Warsito, 1973:15).
Kerajaan Demak sebagai pewaris kerajaan Majapahit, peralihan dari kerajaan Jawa-Hindu ke kerajaan Jawa-Islam berkat perjuangan para ulama Sufi yang bergelar Wali tanah Jawa (Walisongo). Kerajaan Demak pun mewarisi tradisi kejawen pada umumnya, unsur agama dan pejabat keagamaan merupakan bagian tak terpisahkan dari kelengkapan kerajaan seperti kerajaan-kerajaan Jawa pada masa-masa sebelumnya. Masa kerajaan Demak dakwah dilakukan secara aktif oleh Walisongo, dalam menghadapi masyarakat yang komplek para wali mengambil kebijakan-kebijakan khusus. Islamisasi dimulai dari kalangan istana dan tradisinya, sampai pada seni, budaya dan sastra. Masa inila awal pertemuan ajaran Islam dengan tradisi dan budaya Jawa.
Runtuhnya kerajaan Jawa-Hindu Majapahit (1518) dan berdirinya kerajaan Jawa-Islam Demak menjadikan agama Islam subur di kalangan istana, menjadi bagian hidup para priyayi dan cendekiawan Jawa. Hubungan antara para cendekiawan Jawa dengan Ulama juga terjalin dengan baik, mengakibatkan terjadinya interaksi antara Islam dengan sastra dan budaya istana. Para pujangga bertindak aktif, mengolah antara unsur-unsur kejawen dengan ajaran Islam. Zaman ini disebut sebagai zaman peralihan, yakni peralihan dari zaman Kebudhan (tradisi Hindu-Budha) ke zaman Kawalen (Islam) (Simuh, 1996:124).
Zaman kerajaan Demak yang diteruskan oleh kerajaan-kerajaan Jawa-Islam berikutnya, Pajang, Mataram, Surakarta dan Kartusura masih mempertahankan tatanan tradisi kejawen yang sudah disesuaikan dengan Islam. Kehadiran agama Islam membangkitkan semangat hidup kerohanian dan sastra Jawa, lahirnya karya sastra baru yang merupakan perpaduan Jawa dan Islam berbentuk : Serat, Suluk, Primbon, Wirid. Kitab-kitab Kejawen tersebut mengajarkan tentang mistik, etika, hikayat yang merupakan pengolahan Jawa atas Islam. Kecenderungan karya sastra para pujangga Jawa menonjolkan aspek mistik, karena sudah menjadi tugas dan kewajiban mereka untuk memberi dukungan dan membuat keramat sebuah institusi kerajaan. Hal ini dimaksudkan agar kerajaan memiliki wibawa dan otoritas yang ditaati oleh rakyatnya, sehingga rakyat dapat hidup aman dan makmur di dalam pemerintahannya. Karya sastra yang dibuat oleh para pujangga (Cendekiawan Jawa) tidak lain berfungsi sebagai pendukung kekuasaan dan memperkokoh kuasa para raja, dengan tradisi Raja titising Dewa (raja penjelmaan Dewa di dunia).
Kepiawaian para cendekiawan Jawa dalam mempertahankan tradisi Jawa dan menyesuaikannya dengan Islam membangkitkan semangat keberagaman masyarakat Jawa. Unsur-unsur Islam, terutama mistik (tasawuf) mengalami pengolahan Jawa. Ajaran Islam dipadukan dengan tradisi dan budaya Jawa, dan juga terjadi proses Islamisasi budaya Jawa. Adanya pergumulan antara mistik Islam (tasawuf) dengan mistik Jawa yang notabenenya perpaduan Jawa dengan Hindu-Budha, sangat kental dalam tradisi masyarakat Jawa. Pengolahan Jawa atas ajaran mistik Islam melahirkan adanya bentuk kepercayaan baru bagi masyarakat Jawa, yang dikenal dengan Kebatinan. Kebatinan adalah kebudayaan spiritual dari keraton Jawa, yang berasal dari zaman yang sudah sangat tua dan telah mengalami perkembangan yang sangat unik (Warsito, 1973:19).
Sumber ; Kompasiana.com

1 komentar:

Unknown mengatakan...

kunjungan pertama...di tunggu kunjungan balikny :)

Posting Komentar