Memposisikan Kembali Guru dan Murid
Oleh;
Mohammad Sholihul Wafi
Banyak teori kependidikan menyebutkan
bahwa guru merupakan subjek utama dalam sistem pendidikan. Kedudukannya sebagai
subjek pendidikan membuat guru mendapatkan tempat yang teramat penting dan
tidak tergantikan dalam dunia pendidikan. Sistem pendidikan tidak akan berjalan
tanpa kehadiran seorang guru. Dapat dikatakan guru memegang kendali penuh
pendidikan, mau dibawa kemana arah pendidikan nasional tidak dapat terlepas
dari peran seorang guru.
Menurut Anies Baswedan, letak
keberhasilan dan kegagalan sebuah pendidikan nasional ada di tangan para guru.
Ketika guru mempunyai pemahaman dan kemampuan yang baik dalam mentransfer ilmu
serta memahami keadaan peserta didiknya, tujuan pendidikan akan tercapai.
Setiap orang hebat yang terlahir di dunia
ini pasti memiliki seorang guru, dan guru yang baik adalah mereka yang
mempunyai pemahaman terhadap kondisi peserta didiknya. Setiap anak terlahir
dengan potensi-potensi, dalam kondisi kebudayaan yang berbeda. Tidak mungkin
semua peserta didik itu berkemampuan setara, sehingga bisa dibentuk semau
gurunya. Peserta didik tidaklah sama dengan sebuah gelas kosong yang dapat
diisi dengan mudah. Guru tidak boleh memaksakan pendidikan pada peserta didik.
Pertimbangan pada kondisi peserta didik sangat diperlukan, karena peran utama
guru adalah menyalakan lilin-lilin harapan peserta didik, membangunnya sehingga
tercapailah tujuan pendidikan.
Namun kenyataan di Indonesia sekarang
ini, tujuan pendidikan belum sepenuhnya tercapai. Indonesia masih mengalami
krisis moral manusia-manusia terdidik. Tidak sedikit manusia terdidik yang
menduduki kursi parlemen melakukan perbuatan amoral. Mereka yang seharusnya
memberi contoh positif, berkorban, dan mensejahterakan rakyat malah melakukan
tindakan sebaliknya. Mereka memanfaatkan pendidikan di jalur yang salah. Banyak
dari mereka yang terjerat kasus narkoba, memanipulasi keadilan. Bahkan, ada
juga yang terlibat tindak pidana korupsi. Memprihatinkannya, mereka melakukan
perbuatan itu tanpa dihantui rasa berdosa dan penyesalan. Terbukti ada di
antara mereka merupakan mantan terpidana korupsi, mengkorupsi lagi setelah terbebas
dari sel tahanan. Melihat kenyataan yang seperti itu timbul pertanyaan, masih
relevankah guru ditempatkan sebagai subjek pendidikan?
Menurut UU NO. 20 Tahun 2003 Tentang
SISDIKNAS, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pada dasarnya pendidikan merupakan suatu
proses mewujudkan perubahan positif di segala bidang baik sosial maupun kultural.
Dalam sejarahnya, rasulullah mempergunakan pendidikan sebagai sarana mewujudkan
perubahan sosial dan kultural menuju masyarakat yang madani. Tidak hanya
pengetahuan dan wawasan yang ditransfer oleh guru pada peserta didik. Namun
harus mempertimbangkan nilai-nilai positif yang hendak ditanamkan, sebagai
indikator keberhasilan sebuah pendidikan.
Guru tidak cukup menguasai pelajaran yang
akan diajarkan. Tugas guru bukan hanya sekedar mengajar di depan kelas, menyampaikan
pengetahuan kepada peserta didik. Namun mereka juga harus mampu mendidik,
menanamkan nilai kejujuran, ketelitian, keuletan, dan merangsang pembentukan
kepribadian peserta didiknya. Hal ini mutlak harus terwujud sehingga tidak
timbul suasana seolah guru sedang asyik pamer pengetahuan di depan kelas.
Dalam menyikapi hal itu, guru harus
mempunyai ketrampilan dan kemampuan tertentu untuk menjadi pengajar yang baik.
Antara lain ketrampilan dalam menyajikan bahan pelajaran secara sistematis;
kemampuan dalam memahami dan menyelami alam pikiran peserta didik serta
membawanya pada setiap perilaku positif; dan kemampuan meramu bahan pelajaran,
sehingga tersusun suatu progam pembelajaran yang menarik dan relevan dengan
realitas kehidupan para peserta didik.
Implementasi dari konsep-konsep tersebut
bahwa seorang guru tidak hanya melakukan pendidikan searah, menempatkan dirinya
sebagai nomor satu dan peserta didik sebagai nomor dua. Namun guru juga harus
mampu memancing kekreatifan peserta didik. Banyak praktek pendidikan di
Indonesia yang belum mampu memunculkan sisi keaktifan dan kekreatifan para
peserta didik. Peserta didik hanya dituntut menerima dan menerima pengetahuan. Hal
ini tak ubahnya sebuah wadah kosong yang terus diisi tanpa adanya unsur timbal
balik. Akibatnya, sisi keaktifan dan kekreatifan mereka dituangkan secara
negatif ketika telah bertaraf proses dalam kehidupan masyarakat atau saat menyandang
sebuah jabatan yang strategis.
Dari uraian tersebut penulis menyimpulkan
bahwa kedudukan guru bukan sebagai subjek pendidikan. Guru bukan sopir yang
dapat mengarahkan peserta didik kemana saja sesuka hatinya. Antara pendidik dan
peserta didik harus ada hubungan timbal balik. Dalam arti bukan hanya gurunya
yang aktif, namun peserta didiknya juga aktif. Karena pada dasarnya, kedudukan
mereka dalam pendidikan adalah setara dan proses mereka dalam pengajaran
hanyalah upaya berbagi pengetahuan yang manusiawi.
Intinya, antara pendidik dan peserta
didik harus berjalan selaras. Keduanya harus sama-sama aktif agar tercapai tujuan
pendidikan nasional. Penerapannya, guru menempatkan dirinya sebagai uswah
hasanah (suri tauladan yang baik). Tidak hanya menanamkan nilai-nilai positif
spiritualis pada peserta didiknya, namun memberikan contoh konkret
perilaku-perilaku positif itu dalam realita kehidupan. Harapan kedepannya, tidak
ada lagi generasi-generasi terdidik yang bersifat individualis, hedonis, dan materialistis,
melakukan korupsi dan perbuatan-perbuatan negatif yang merugikan orang lain.
Tercapailah tujuan pendidikan nasional. Semoga! Wallahu a’lam bi al-shawab.
0 komentar:
Posting Komentar