Dalam antropologi budaya, kita dapat mengenal beragam
suku dan budaya, salah satunya adalah masyarakat atau suku Jawa.
Masyarakat Jawa adalah orang-orang yang dalam hidup kesehariannya
menggunakan bahasa Jawa dengan ragam dialeknya secara turun temurun.
Suku bangsa Jawa adalah mereka yang bertempat tinggal di daerah Jawa
Tengah dan Jawa Timur, serta mereka yang berasal dari kedua daerah
tersebut. Secara geografis suku bangsa Jawa mendiami tanah Jawa yang
meliputi Banyumas, Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang dan
Kediri, sedangkan diluar itu dinamakan pesisir dan Ujung Timur.
Surakarta dan Yogyakarta yang merupakan dua bekas kerajaan Mataram pada
sekitar abad ke XVI adalah pusat dari kebudayaan Jawa. Keduanya adalah
tempat kerajaan terakhir dari pemerintahan raja-raja Jawa (Kodiran,
1976).
Nenek moyang suku bangsa Jawa tidak berbeda dari suku-suku bangsa
Indonesia lainnya yang menempati Semenanjung Malaka, Kalimantan, Sumatra
dan Jawa yang disebut daratan Sunda. Semula wilayah ini masih menjadi
satu dengan benua Asia sebelum es mencair dan memisahkan keduanya. Dari
sisa peninggalan masing-masing budayanya dimungkinkan ada hubungan
darah di antara suku-suku tersebut, terutama dengan bangsa Asia
Tenggara terutama Indo China. Sementara itu, dibagian timur adalah
dataran Sahul, yang memunculkan Irian dan Australia. Antara Sunda dan
Sahul tersebar pulau-pulau Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, Banda dan
Filipina.
Islam meskipun terlahir dari negeri Arab yang tandus, namun karena
dibawa oleh Nabi pembawa risalah di akhir zaman, untuk menebarkan rahmat
ke seluruh penjuru dunia. Meskipun, secara fisik sudah tidak ada, namun
kebenaran risalah yang diembannya senantiasa terpancar sepanjang zaman,
tidak terbatas oleh sekat-sekat daratan maupun lautan. Pada
perkembanganya, dari waktu ke waktu semakin berkibar, hampir ke seluruh
penjuru dunia, tidak ketinggalan pulau Jawa pun mendapat pancaran
risalah tersebut.
Syi’ar Islam di luar pulau Jawa tidak begitu mengalami hambatan, hampir
di semua daerah hanya dihadapkan pada budaya lokal dan Islam mendapat
dukungan dari para penguasa setempat. Berbeda dengan di Jawa yang sarat
dengan budaya asing. Islam masuk ke Jawa harus menghadapi masyarakat
Jawa yang penuh dengan budaya mistis, bangunan kepercayaan
Animisme-Dinamisme dan agama Hindu-Budha yang sudah mengakar. Dakwah
Islam untuk beberapa abad tidak mampu menembus dinding istana yang masih
dipagari dengan kepercayaan Hindu-Budha Kejawen. Berbeda dengan syiar
Islam di luar Jawa (seperti di Aceh), agama Islam dapat segera diterima
oleh pihak kerajaan (Raja Samodra Pasai) sejak abad ke XIII (Boechari,
1971:9).
Masyarakat Jawa sebelum datangnya agama-agama asing dari luar, telah
memiliki kepercayaan sendiri. Kepercayaan adanya kekuatan magis dan
pemujaan terhadap ruh-ruh leluhur (animis-dinamis), mengembangkan
kebudayaan berburu dan meramu, menangkap ikan, membuat perahu lesung dan
kapak berbentuk cakram sejak zaman pra-sejarah (Koentjaraningrat,
1984:17). Mistik merupakan ajaran yang telah lama dikenal dan diyakini
oleh orang Jawa. Kedatangan bangsa India (Hindu-Budha) juga mengajarkan
mistik, yang kemudian diserap dan diolah oleh orang Jawa.
Datangnya bangsa India yang membawa kepercayaan dan peradaban baru
membuat kebudayaan Jawa semakin berkembang bukannya tersisih. Ajaran
Hindu-Budha dari India tersebut makin memperhalus peradaban dan tradisi
Jawa, tradisi Jawa yang serba magis-mistis. Karena pada dasarnya ajaran
Hindu-Budha sendiri penuh dengan ajaran mistis dan mitologis. Kesesuaian
ajaran inilah yang membuat ajaran Hindu-Budha mudah dan cepat dicerna
oleh masyarakat Jawa. Agama baru ini (Hindu dan Budha) berkembang dengan
pesat, mengakar dalam segala lapisan kehidupan, sampai-sampai diyakini
sebagai budaya Jawa asli.
Masuknya pengaruh kebudayaan dan kepercayaan India (Hindu-Budha)
bersifat ekspansif, sedangkan kebudayaan Jawa yang menerima menyerap
unsur-unsur Hinduisme-Budhisme. Prosesnya bukan sekedar akulturasi saja,
tetapi yang terjadi justru kebangkitan budaya Jawa dengan memanfaatkan
unsur-unsur agama India tersebut (Simuh, 1996:115). Kerajaan-kerajaan
Jawa mulai diwarnai oleh kebudayaan India, maka menumbuhkan nuansa baru
dalam kehidupan masyarakat jawa, khususnya kalangan kraton, yaitu nuansa
Hindu-Kejawen. Berkat pengaruh kebudayaan India inilah kalangan istana
mendapat perlakuan istimewa dari semua pihak. Raja sangat dikeramatkan
dan menjadi pusat pengabdian, kerajaan menjadi semakin berwibawa dan
kokoh. Pihak istana mewakili budaya lapisan atas dan rakyat awam sebagai
figur budaya lapisan bawah, yang diwarnai nuansa mistis.
Masuknya agama Islam ke tanah Jawa, yang dibawa oleh kaum Ulama Sufi
(mistikus Islam), untuk beberapa abad tidak mampu menembus lingkungan
kerajaan atau kraton yang masih dipagari dengan kepercayaan
Hindu-Kejawen. Sehingga dakwah Islam yang dilakukan oleh para Sufi dari
daerah pesisiran pantai, yang secara geografis jauh dari lingkungan
kerajaan. Masyarakat pesisir yang cenderung memiliki watak egaliter,
tidak mengenal lapisan-lapisan masyarakat, cenderung menerima ajaran
Islam yang mengajarakan persamaan hak dan derajat manusia. Berawal dari
sinilah, keberhasilan dakwah Islam yang mengajarkan persamaan hak dan
derajat manusia disambut dengan gembira oleh rakyat awam, bahkan
dianggap sebagai penerang dari kegelapan. Tidak ada perbedaan antara
rakyat dan pejabat, semua manusia sama derajatnya di sisi Allah SWT.
Dalam perkembangan dakwahnya, Islam akhirnya berhasil menjadi bagian
hidup masyarakt pesisir, yang kemudian melahirkan komunitas baru yang
berpusat di pesantren di sepanjang pesisir pantai. Puncak keberhasilan
dakwah Islam ditandai dengan berdirinya kerajaan Demak dan rajanya yang
pertama Raden Patah, bergelar Sultah Syah Alam Akbar memegang
pemerintahan selama 43 tahun (1475 - 1518) (Warsito, 1973:15).
Kerajaan Demak sebagai pewaris kerajaan Majapahit, peralihan dari
kerajaan Jawa-Hindu ke kerajaan Jawa-Islam berkat perjuangan para ulama
Sufi yang bergelar Wali tanah Jawa (Walisongo). Kerajaan Demak pun
mewarisi tradisi kejawen pada umumnya, unsur agama dan pejabat keagamaan
merupakan bagian tak terpisahkan dari kelengkapan kerajaan seperti
kerajaan-kerajaan Jawa pada masa-masa sebelumnya. Masa kerajaan Demak
dakwah dilakukan secara aktif oleh Walisongo, dalam menghadapi
masyarakat yang komplek para wali mengambil kebijakan-kebijakan khusus.
Islamisasi dimulai dari kalangan istana dan tradisinya, sampai pada
seni, budaya dan sastra. Masa inila awal pertemuan ajaran Islam dengan
tradisi dan budaya Jawa.
Runtuhnya kerajaan Jawa-Hindu Majapahit (1518) dan berdirinya kerajaan
Jawa-Islam Demak menjadikan agama Islam subur di kalangan istana,
menjadi bagian hidup para priyayi dan cendekiawan Jawa. Hubungan antara
para cendekiawan Jawa dengan Ulama juga terjalin dengan baik,
mengakibatkan terjadinya interaksi antara Islam dengan sastra dan budaya
istana. Para pujangga bertindak aktif, mengolah antara unsur-unsur
kejawen dengan ajaran Islam. Zaman ini disebut sebagai zaman peralihan,
yakni peralihan dari zaman Kebudhan (tradisi Hindu-Budha) ke zaman Kawalen (Islam) (Simuh, 1996:124).
Zaman kerajaan Demak yang diteruskan oleh kerajaan-kerajaan Jawa-Islam
berikutnya, Pajang, Mataram, Surakarta dan Kartusura masih
mempertahankan tatanan tradisi kejawen yang sudah disesuaikan dengan
Islam. Kehadiran agama Islam membangkitkan semangat hidup kerohanian dan
sastra Jawa, lahirnya karya sastra baru yang merupakan perpaduan Jawa
dan Islam berbentuk : Serat, Suluk, Primbon, Wirid. Kitab-kitab Kejawen
tersebut mengajarkan tentang mistik, etika, hikayat yang merupakan
pengolahan Jawa atas Islam. Kecenderungan karya sastra para pujangga
Jawa menonjolkan aspek mistik, karena sudah menjadi tugas dan kewajiban
mereka untuk memberi dukungan dan membuat keramat sebuah institusi
kerajaan. Hal ini dimaksudkan agar kerajaan memiliki wibawa dan otoritas
yang ditaati oleh rakyatnya, sehingga rakyat dapat hidup aman dan
makmur di dalam pemerintahannya. Karya sastra yang dibuat oleh para
pujangga (Cendekiawan Jawa) tidak lain berfungsi sebagai pendukung
kekuasaan dan memperkokoh kuasa para raja, dengan tradisi Raja titising Dewa (raja penjelmaan Dewa di dunia).
Kepiawaian para cendekiawan Jawa dalam mempertahankan tradisi Jawa dan
menyesuaikannya dengan Islam membangkitkan semangat keberagaman
masyarakat Jawa. Unsur-unsur Islam, terutama mistik (tasawuf) mengalami
pengolahan Jawa. Ajaran Islam dipadukan dengan tradisi dan budaya Jawa,
dan juga terjadi proses Islamisasi budaya Jawa. Adanya pergumulan antara
mistik Islam (tasawuf) dengan mistik Jawa yang notabenenya perpaduan
Jawa dengan Hindu-Budha, sangat kental dalam tradisi masyarakat Jawa.
Pengolahan Jawa atas ajaran mistik Islam melahirkan adanya bentuk
kepercayaan baru bagi masyarakat Jawa, yang dikenal dengan Kebatinan.
Kebatinan adalah kebudayaan spiritual dari keraton Jawa, yang berasal
dari zaman yang sudah sangat tua dan telah mengalami perkembangan yang
sangat unik (Warsito, 1973:19).
Sumber ; Kompasiana.com
Sumber ; Kompasiana.com
1 komentar:
kunjungan pertama...di tunggu kunjungan balikny :)
Posting Komentar