Minggu, 20 Januari 2013

Apa dan Bagaimana Konflik itu?


1.              PENGERTIAN KONFLIK

Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
            Menurut Webster (1966), istilah “conflict” di dalam bahasa aslinya berarti suatu “perkelahian, peperangan atau perjuangan” yaitu berupa konfrontasi fisik dan psikologis antara beberapa pihak.
Menurut Taquiri dalam Newstorm dan Davis (1977), konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat daripada berbangkitnya keadaan ketidaksetujuan, kontroversi dan pertentangan di antara dua pihak atau lebih pihak secara berterusan.
Tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.

2.        PENYEBAB KONFLIK

Faktor Penyebab Konflik Secara Umum:

1.      Modernisasi dan globalisasi yang jauh memasuki masyarakat Indonesia.
2.      Sifat rasisme bangsa Indonesia yang mengangap agama yang dianut adalah yang paling benar sedangkan yang lain salah.
3.      Masyarakat Indonesia dalam budaya kekerasan.
4.      Ketidakadilan sosial dalam bangsa Indonesia, kebanyakan korban pemerintah hanya menguntungkan golongan atas.

Pada pertemuan ke 12 telah dijelaskan bahwa penyebab Umum konflik agama ada 3 yaitu:
1.      Ajaran agama
2.      Tokoh agama
3.      Pola penyebaran agama
Pada kesempatan ini, penulis menambahkan empat hal pokok sebagai sumber konflik sosial yang bersumber dari agama ( Hendropuspito, Sosiologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1983) 151-168), yaitu:

1.       Perbedaan Doktrin dan Sikap Mental
Semua pihak umat beragama yang sedang terlibat dalam bentrokan masing-masing menyadari bahwa justru perbedaan doktrin itulah yang menjadi penyebab dari benturan itu.
Dalam skala penilaian yang dibuat (subyektif) nilai tertinggi selalu diberikan kepada agamanya sendiri dan agama sendiri selalu dijadikan kelompok patokan, sedangkan lawan dinilai menurut patokan itu. Karena itu, faktor perbedaan doktrin dan sikap mental dalam kelompok masyarakat Islam dan Kristen punya andil sebagai pemicu konflik.

2.      Perbedaan Suku dan Ras Pemeluk Agama
Tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan ras dan agama memperlebar jurang permusuhan antar bangsa. Perbedaan suku dan ras ditambah dengan perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan antar kelompok dalam masyarakat.
Contoh di wilayah Indonesia, antara Suku Aceh dan Suku Batak di Sumatera Utara. Suku Aceh yang beragama Islam dan Suku Batak yang beragama Kristen; kedua suku itu hampir selalu hidup dalam ketegangan, bahkan dalam konflik fisik (sering terjadi), yang merugikan ketentraman dan keamanan.

3.      Perbedaan Tingkat Kebudayaan
Agama sebagai bagian dari budaya bangsa manusia. Kenyataan membuktikan perbedaan budaya berbagai bangsa di dunia tidak sama. Secara sederhana dapat dibedakan dua kategori budaya dalam masyarakat, yakni budaya tradisional dan budaya modern.
Perbedaan budaya dalam kelompok masyarakat yang berbeda agama di suatu tempat atau daerah pada kenyataannya merupakan faktor pendorong yang ikut mempengaruhi terciptanya konflik antar kelompok agama di Indonesia.

4.      Masalah Mayoritas dan Minoritas Golongan Agama
Fenomena konflik sosial mempunyai aneka penyebab. Tetapi dalam masyarakat agama pluralitas penyebab terdekat adalah masalah mayoritas dan minoritas golongan agama.
Di berbagai tempat terjadinya konflik, massa yang mengamuk adalah yang beragama Islam yaitu sebagai kelompok mayoritas; sedangkan kelompok yang ditekan dan mengalami kerugian fisik dan mental adalah orang Kristen yang minoritas di Indonesia. Sehingga nampak kelompok Islam yang mayoritas merasa berkuasa atas daerah yang didiami lebih dari kelompok minoritas yakni orang Kristen. Karena itu, di beberapa tempat orang Kristen sebagai kelompok minoritas sering mengalami kerugian fisik, seperti: pengrusakan dan pembakaran gedung-gedung ibadat.

3.   CONTOH KONFLIK SOSIAL BERNUANSA AGAMA

A.    Antara umat Muslim dengan umat non Muslim

§  Konflik Poso
Penyebab secara agamanya yaitu hari natal bertepatan dengan bulan ramadhan dimana masyarakat muslim dan polisi setempat menertibkan tempat-tempat maksiat dan hal ini ditentang oleh pemuda-pemuda kristiani yang saat itu sedang merayakan natal. Selain itu, konflik ini juga disebabkan oleh faktor lain seperti, faktor politik yang semakin memanaskan suasana yang pada waktu itu terjadi pemilihan bupati yang kandidatnya berasal dari agama yang berbeda.

§  Kasus tragedi berdarah Maluku
Seperti diberitakan bahwa  di zaman orde baru keanggotaan dalam organisasi Islam tertentu memberikan jaminan kepada para anggotanya di Ambon untuk bisa memenangkan berbagai tingkat jabatan di pemerintahan. Hal ini membuat kelompok Kristen di Ambon termajinalisasi dari lingkup kekuasaan birokrasi, sehingga mereka melakukan tindak kekerasan terhadap orang-orang Islam. Sekalipun konflik Maluku berasal dari persaingan politik untuk menguasai jabatan birokrasi pemerintahan, konflik ini menjadi perseteruan antar penganut agama.

B.    Konflik internal umat Muslim

§  Konflik Ahmadiyah, Banten
Penyebabnya : konflik besar dan berdarah serta menewaskan beberapa orang ini bermula karena Aliran Ahmadiyah yang tersebut meyakini bahwa ada nabi lagi setelah nabi Muhammad SAW, hal ini adalah sebagai suatu kesalahan terbesar yang dianut aliran ini. Inilah yang memicu kemarahan umat Islam di Cikeusik, pandeglang Banten kepada aliran ini.

4.     RESOLUSI KONFLIK

Ø  Setelah melihat contoh-contoh konflik yang ada di Indonesia, ternyata cara-cara yang tepat untuk menyelesaikan konflik yang terjadi adalah :

1.     Melaksanakan serangkaian pertemuan, dialog, dan tatap muka yang melibatkan tokoh-tokoh agama dan adat serta segenap instansi pemerintah untuk mencari kesepakatan.
2.     Menciptakan suasana dan meningkatkan keamanan melalui langkah-langkah: menghentikan dan mencegah terulangnya konflik, melakukan patrol intensif, menempatkan pos pengamanan di daerah rawan, pembersihan senjata dan amunisi illegal dan tindakan tegas terhadap individu atau kelompok yang melawan hukum.
3.     Memberikan santunan kepada para korban kerusuhan.
4.     Refungsionalisasi dan pembangunan baru sarana ekonomi dan transportasi.
5.     melakukan proses peradilan terhadap para pelaku yang bersalah dan bertanggung jawab dalam kerusuhan.
6.     Melakukan bimbingan kerohanian secara kontinu untuk memulihkan traumatik masyarakat akibat kerusuhan melalui berbagai lembaga dan kegiatan keagamaan, sosial dan remaja.

Ø  Sedangkan Secara teoritis ada beberapa macam model penyelesaian konflik yang berlaku secara umum, antara lain :

·      Pertama, model penyelesaian berdasarkan sumber konflik. Dalam model ini, untuk bisa penyelesaian konflik dituntut untuk terlebih dahulu diketahui sumber-sumber konflik: apakah konflik data, relasi, nilai, struktural, kepentingan dan lain sebagainya. Setelah diketahui sumbernya, baru melangkah untuk menyelesaikan konflik. Setiap sumber masalah tentunya memiliki jalan keluar masing-masing sehingga menurut model ini, tidak ada cara penyelesaian konflik yang tunggal.

·      Kedua, model Boulding. Model Boulding menawarkan metode mengakhiri konflik dengan tiga cara, yakni :  Menghindar, menaklukkan, dan mengakhiri konflik sesuai prosedur.

1.     Menghindari konflik adalah menawarkan kemungkinan pilihan sebagai jawaban terbaik. Akan   tetapi, harus diperhatikan bahwa ini hanya bersifat sementara agar kedua pihak dapat memilih jalan terbaik mengakhiri konflik.
2.     Menaklukkan pengerahan semua kekuatan untuk mengaplikasikan strategi perlawanan terhadap konflik.
3.     Mengakhiri konflik melalui prosedur rekonsiliasi atau kompromi adalah metode umum yang terbaik dan paling cepat mengakhiri konflik.

·      Ketiga, model pluralisme budaya. Model pluralisme budaya, dapat membantu untuk melakukan resolusi konflik. Misalnya, individu atau kelompok diajak memberikan reaksi tertentu terhadap pengaruh lingkungan sosial dengan mengadopsi kebudayaan yang baru masuk. Inilah yang kemudian disebut sebagai asimilasi budaya. Selain asimilasi, faktor yang bisa membuat kita menyelesaikan konflik adalah akomodasi. Dalam proses akomodasi, dua kelompok atau lebih yang mengalami konflik harus sepakat untuk menerima perbedaan budaya, dan perubahan penerimaan itu harus melalui penyatuan penciptaan kepentingan bersama. Soerjono Soekanto, Sosiologi Sautu Pengantar (Jakarta: Rajawali Press, 1998), hal. 239.

·      Keempat, model intervensi pihak ketiga. Dalam model ini ada beberapa bentuk, yakni coercion, arbitrasi, dan mediasi.
1.     Coercion adalah model penyelesaian konflik dengan cara paksaan, di mana masing-masing pihak dipaksa untuk mengakhiri konflik.
2.     Arbitrasi adalah penyelesaian konflik dengan cara mengambil pihak ketiga untuk memutuskan masalah yang terjadi, dan keputusan pihak ketiga harus dipatuhi oleh masing-masing pihak.
3.     Mediasi berarti pihak ketiga hanya berfungsi untuk menjembatani penyelesaian konflik yang terjadi dalam masyarakat.( Ibid., hal. 241).

Ø    Resolusi Konflik ala Nabi Muhammad SAW

1.     Resolusi pertama dikenal dengan Resolusi Makkah, yaitu Resolusi pasif dalam bentuk defensif psikologis. Karakter dasar yang muncul dalam Resolusi Konflik Makkah adalah menghindari potensi konflik. Bentuk resolusi konflik makkah lebih mengedepankan solusi psikologis seperti penyampaian doktrin agama yang sejuk dan lebih menyentuh publik dari pada aspek individu, menghindari konflik terbuka dan mengembangkan mentalitas kesabaran kalangan umat.
2.     Exile Resolution : lebih menyentuh aspek materiil, yaitu munculnya kebijakan penempatan komunitas muslim di tempat yang aman karena semakin meningkatnya intensitas gangguan dan merebaknya ancaman yang diterima kaum muslimin.
3.     Defense Resolution : menindaklanjuti efektifitas dari exile resolution yaitu setelah daerah aman permanen ditemukan dan consensus politik Muhammad dengan suku Madinah telah terjalin. Ditandai dengan mulai beraninya masyarakat  muslimin melakukan sabotase perdagangan dengan kaum Quraysh.
4.     Aktive Resolutiom : pola ini lebih cenderung offensive yaitu menyerang dan menghancurkan ancaman sumber potensi konflik. Bentuk pertahanannya muncul setelah para militer muslim mendapat ijin perang terbatas dan telah memiliki pengalaman militer dalam beberapa pertempuran.

Ø  Budaya Lokal sebagai Sarana Resolusi Konflik

Selain model-model penyelesaian konflik yang sudah ada secara teoretis di atas, harus diingat juga bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa besar yang memiliki keragaman budaya. Setiap budaya memiliki kearifan-kearifan (Kebijaksanan) tersendiri dalam menyikapi permasalahan hidup yang dihadapi. Termasuk di dalamnya kearifan dalam menyelesaikan konflik. Kearifan-kearifan seperti inilah yang sering disebut sebagai kearifan lokal (local wisdom).
·      Di antara kearifan lokal yang sudah ada sejak dahulu dan masih terpelihara sampai sekarang antara lain:

o   dalihan natolu (Tapanuli),
o   rumah betang (Kalimantan Tengah),
o   menyama braya (Bali),
o   saling Jot dan saling pelarangan (NTB),
o   siro yo ingsun, ingsun yo siro (Jawa Timur),
o   alon-alon asal kelakon (Jawa Tengah/DI Yogyakarta), dan
o   basusun sirih (Melayu/Sumatra).

·      Tradisi dan kearifan lokal yang masih ada serta berlaku di masyarakat, berpotensi untuk dapat mendorong keinginan hidup rukun dan damai. Hal itu karena kearifan tradisi lokal pada dasarnya mengajarkan perdamaian dengan sesamanya, lingkungan, dan Tuhan.

·      Hal yang sangat tepat menyelesaikan konflik dengan menggunakan adat lokal atau kearifan lokal karena selama ini sudah membudaya dalam masyarakat. Oleh karena kearifan lokal adalah sesuatu yang sudah mengakar dan biasanya tidak hanya berorientasi profan semata, tetapi juga berorientasi sakral sehingga pelaksanaannya bisa lebih cepat dan mudah diterima oleh masyarakat. Dengan adat lokal ini diharapkan resolusi konflik bisa cepat terwujud, bisa diterima semua kelompok sehingga tidak ada lagi konflik laten yang tersembunyi dalam masyarakat.

0 komentar:

Posting Komentar