Kata Pengantar
Assalamualaikum wr.wb
Puji syukur kami haturkan kehadurat Allah
SWT,yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya yang tiada tara kepada kita
semua,khususnya kenikmatan iman dan islam.Sholawat dan salam senantiasa tercurahkan
kepada junungan kita Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman
jahiliyah menuju zaman terang benderang.
Islam merupakan agama mayoritas masyarakat
Indonesia.Tentu suatu agama memuat peraturan-peraturan tertentu atau juga
disebut hukum.
Di Indonesia,hukum islam menjadi salah satu
sumber bagi pembangunan hukum Nasioal.Oleh karena itu dalam makalah ini kami
mencoba untuk mengemukakan mengenai sejarah perkembangan hukum islam di
Indonesia dari zaman kerajaan Islam hingga zaman reformasi.
Kami mengucpkan terima kasih atas kritik dan
saran yang membangun demi kesempurnaan
makalah ini,karena hanya miik Allah lah kesempurnaan itu.Semoga makalahh ini
dapat menambah wawasan kita semua..amin
Wassalamualaikum wr.wb
Yogyakarta 3 Desember 2012
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Islam masuk Indonesia doikuti masukya
kerajaan-karajaan islam.Sejak agama Islam mulai dianut oleh penduduk
Indonesia,maka dengan itu hukum islam pun mulai berlaku dalam tata kehidupan
bermasyarakat, kaidah hukum diajarkan sebaagai pedoman kehidupan stelah
terlebihm dahulu mengalami institusionalisasi dari proses interaksi sosial
inilah hukum islam mulai mangakar menjadi sistm hukum islam dalam masyarakat.
Penyebaran islam di Indonesia yang berlansung
secara bertahap menyebabkan pemberlakuan hukum islam pun mengalami
pentahapan.Selain itu Masyarakat pada umunya sudaj memiliki aturan atau adat
istiadat sendiri,sehigga ketika oslam datang terjadi akulturasi antara hukum
islam dan hukum adat.Perkembangan hukum islam juga dipengaruhu oleh kebijakan
oemarintah yang sedang berkuasa.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai
perkrmbangan hukum islam dari masa kerajaan islam hingga masa reformasi
(sekarang ini).Dan juga akan dibahas faktor faktor yang mendukunf dan
menghambat hukum islam di Indonesia.
B.Rumusan Masalah
Dari Latar belakang diatas, dapat ditarik
rumusan masalah:
1. Bagaimana
sejarah masuknya Islam dan perkembangan hukum islam di Indonesia ?
2. Apa faktor-fakto pendukung dan penghambat
perkembangan hukum islam di Indonesia ?
C.Tujuan
1. Mengetahui sejarah masuknya islam di
Indonesia dan perkembangan hukum islam do Indonesia
2. Mengetahui Faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan hukum islam di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
SEJARAH ISLAM
MASUK KE INDONESIA
Pada abad 7 masehi, Islam sudah sampai ke Nusantara. Para Dai yang datang ke Indonesia berasal dari jazirah Arab yang sudah beradaptasi dengan bangsa India yakni bangsa Gujarat dan ada juga yang telah beradaptasi dengan bangsa Cina, Islam masuk dari berbagai arah salah satunya yakni dari jalur sutera (jalur perdagangan), dakwah sehingga islam mulai merambah di pesisir-pesisir Nusantara.
Proses masuk dan berkembangnya agama Islam di Indonesia menurut Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya yang berjudul Menemukan Sejarah, terdapat 3 teori yaitu:
- Teori Gujarat,
- Teori Makkah dan
- Teori Persia.
Ketiga teori tersebut di atas memberikan jawaban
tentang permasalah waktu masuknya Islam ke Indonesia, asal negara dan tentang
pelaku penyebar atau pembawa agama Islam ke Nusantara. Untuk mengetahui lebih
jauh dari teori-teori tersebut, silahkan Anda simak uraian materi berikut ini;
1. Teori Gujarat
Teori berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia
pada abad 13 dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari
teori ini adalah:
1.
Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab
dalam penyebaran Islam di Indonesia.
2.
Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama
melalui jalur Indonesia – Cambay – Timur Tengah – Eropa.
3.
Adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al
Saleh tahun 1297 yang bercorak khas Gujarat.
Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF
Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke. Para ahli yang mendukung teori Gujarat,
lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu
adanya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo
dari Venesia (Italia) yang pernah singgah di Perlak ( Perureula) tahun 1292. Ia
menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yang memeluk Islam dan
banyak pedagang Islam dari India yang menyebarkan ajaran Islam.
2. Teori Makkah
Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai
sanggahan terhadap teori lamayaitu teori Gujarat. Teori Makkah berpendapat
bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan pembawanya berasal dari Arab
(Mesir). Dasar teori ini adalah:
1.
Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat
Sumatera sudah terdapat perkampungan Islam (Arab); dengan pertimbangan bahwa
pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini
juga sesuai dengan berita Cina.
2.
Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i,
dimana pengaruh mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah.
Sedangkan Gujarat/India adalah penganut mazhab Hanafi.
3.
Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al malik,
yaitu gelar tersebut berasal dari Mesir.
Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan
T.W. Arnold. Para ahli yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13 sudah
berdiri kekuasaan politik Islam, jadi masuknya ke Indonesia terjadi jauh
sebelumnya yaitu abad ke 7 dan yang berperan besar terhadap proses
penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri.
3. Teori Persia
Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia
abad 13 dan pembawanya berasal dari Persia (Iran). Dasar teori ini adalah
kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia seperti:
1.
Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya
Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang
Syiah / Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara
Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro.
2.
Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar
dengan sufi dari Iran yaitu Al – Hallaj.
3.
Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja
huruf Arab untuk tandatanda bunyi Harakat.
4.
Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di
Gresik.
5.
Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik.
Leren adalah nama salah satu Pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen
dan P.A. Hussein Jayadiningrat.
Ketiga teori tersebut, pada dasarnya masing-masing
memiliki kebenaran dan kelemahannya. Maka itu berdasarkan teori tersebut
dapatlah disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai pada
abad ke – 7 dan mengalami perkembangannya pada abad 13. Sebagai pemegang
peranan dalam penyebaran Islam adalah bangsa Arab, bangsa Persia dan Gujarat
(India).
2. PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM DI
INDONEIA
A.Hukum Islam
Pada Masa Kerajaan Islam di Nusantara
Hukum Islam di Indonesia sebenarnya telah lama hidup
di antara masyarakat Islam itu sendiri, hal ini tentunya berkaitan dengan
pertumbuhan dan perkembangan agama Islam. Jika dilihat sebelum Islam masuk,
masyarakat Indonesia telah membudaya kepercayaan animisme dan dinamisme.
Kemudian lahirlah kerajaan-kerajaan yang masing-masing dibangun atas dasar
agama yang dianut mereka, misalkan Hindu, Budha dan disusul dengan kerajaan
Islam yang didukung para wali pembawa dan penyiar agama Islam.
Akar sejarah hukum Islam di kawasan nusantara menurut
sebagian ahli sejarah telah dimulai pada abad pertama hijriah, atau sekitar
abad ketujuh dan kedelapan Masehi. Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan
nusantara, di kawasan utara pulau Sumatra lah yang dijadikan sebagai titik awal
gerakan dakwah para pendatang muslim. Dan secara perlahan gerakan dakwah itu
kemudian membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur.
Berkembanganya komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti dengan
berdirirnya kerajaan Islam pertama sekitar abad ketiga belas yang dikenal
dengan Samudera Pasai, terletak di wilayah aceh utara.
Dengan berdirinya kerajaan Pasai itu, maka pengaruh
Islam semakin menyebar dengan berdirirnya kerajaan lainnya seperti kesultanan
Malaka yang tidak jauh dari Aceh. Selain itu ada beberapa yang ada di jawa
antara lain kesulatanan demak, mataram, dan cirebon. Kemudian di daerah
sulawesi dan maluku yang ada kerajaan gowa dan kesultanan ternate serta tidore.
Hukum islam pada masa ini merupakan sebuah fase
penting dalam sejarah hukum islam di Indonesia. Dengan adanya kerajaan-kerajaan
islam menggantikan kerajaan Hindu-Budha berarti untuk pertama kalinya hukum
islam telah ada di Indonesia sebagai hukum positif. Hal ini terbukti dengan
fakta-fakta dengan adanya literatur-literatur fiqih yang ditulis oleh para
ulama’ nusantara pada abad 16 dan 17 an. Zaman para penguasa ketika itu
memposisikan hukum islam sebagi hukum Negara.
Hukum
Islam di berlakukan oleh raja-raja di Indonesia dengan cara mengangkat
ulama-ulama untuk menyelesaikan sengketa. Bentuk peradilannya berbeda-beda
tergantung dengan bentuk peradilan adat. Karena palaksanaan peradilan yang
bercorak Islam dilakukan dengan cara mencampurkan (mengawinkan) dengan
bentuk peradilan Adat di Indonesia pada kerajaan-kerajaan di jawa pada
pelaksanaannya ahli hokum Islam memliki tempat yang terhomat yang kemudian di
kenal dengan sebutan penghulu di mana tugasnya disamping sebagai ulama juga
menyelesaikan perkara-perkara perdata, perkawinan, dan kekeluargaan, proses
penyelesaian (peradilan) di selesaikan di manjid.
Secara
yuridis raja-raja di Indonesia memberlakukan hukum Islam akan tetapi tidak
dalam konteks peraturan atau perundang-undangan kerajaan. Hukum islam di
berlakukan dalam kontek ijtihad ulama, permasalahan-permaslahan yang terjadi
terkadang tidak bias di selesaikan oleh perundanga-undangan kerajaan maka
terkadang di tanyakan kepada Ulama. Saat itulah ulama melakukan ijtihad atau
menyandarkan pendapatnya kepada kitab-kitab fiqh. Dengan pola ini mazhab imam 4
syafii’I, Hanafi, Maliki, dan Hambali berkembang di Indonesia hingga saat
ini. Sistem hokum islam terus
berjalan bersamaan dengan system hokum adat di Indonesia hingga masuknya
kolonialisasi yang dilakukan oleh Negara-negar barat di Indonesia. Semula pedagang dari Portugis, Kemudian
Spayol, di susul oleh Belanda, dan Inggris.
Pada masa Kerajaan/kesultanan
Islam di Nusantarahukum Islam dipraktekkan oleh masyarakat dalam
bentuk yang hampir bisa dikatakan sempurna (syumul),
mencakup masalah mu’amalah, ahwal al-syakhsiyyah (perkawinan, perceraian dan
warisan), peradilan, dan tentu saja dalam masalah ibadah.
Hukum Islam juga menjadi sistem
hukum mandiri yang digunakan di kerajaan-kerajaan Islam nusantar. Tidaklah
berlebihan jika dikatakan pada masa jauh sebelum penjajahan belanda, hukum
islam menjadi hukum yang positif di nusantara.
Islam menjadi pilihan bagi masyarakat karena
secara teologis ajarannya memberikan keyajinan dan kedamaian bagi penganutnya.
Masyarakat pada periode ini dengan rela dan patuh, tunduk dan mengikuti
ajaran-ajaran islam dalam berbagai dimensi kehidupan. Namun keadaan itu
kemudian menjadi terganggu dengan datangnya kolonialisme barat yang membawa
misi tertentu, mulai dari misi dagang, politik bahkan sampai misi kristenis
B. Masa Kolonial ( Abad XVIII-pertengahan abad
XX )
Fase ini berlamgsung
sejak Belanda secara de facto menancapkan kolonialosmenya di Indonesia. Pada
awal kedatangan bangsa Eropa, yaitu abad 17, mereka berkepentingan
mengembangkan usaha perdagangan. Dari niat berdagang lambat laun muncul
keinginan untuk menguasai wilayah yang kaya akan rempah-rempah.
Bangsa asing yang pernah
menjajah Indonesia adalah Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang. Dari
keempatnya, Belanda yang paling lama dan memberikan pengaruh yang cukup besar
dalam berbagai sistem kehidupan masyarakat, termasuk dalam hukum islam.
Sejarah perkembangan
hukum islam pada masa kolonial terbagi dalam dua periode, yaitu periode in
complexu dan periode receptie. Pereiode pertama terjadi pada abad ke-17 higgga
akhir abad 18, yaitu pada saat awal pemerintahan Belanda. Periode ini disebut
juga dengan pemberlakuan hukum Islam sepenuhnya bagi orang Islam. Misalnya hukum
keluarga Islam, terutama yang menyangkut perkawinan dan kewarisan diaplikasikan
sepenuhnya.
Bahkan pada tanggal 25
Mei 1670 Belanda memberikan pengakuan atas kedudukan hukum Islam sebagai hukum
yang berlaku. Melalui VOC, dikeluarkanlah Resolute de Indieshe Regeering yang
berisi pemberlakuan hukum waris dan perkawinan Islam pada pengadilan VOC bagi
orang Indonesia. Resolusi ini dikenal dengan nama Compendium Freijer, yang
merupakan legislasi hukum Islam pertama di Indonesia.
Legislasi lainnya adalah
pepakem Cirebon yang dibuat atas usul residen Cirebon, Mr.P.C.Hosselaar. Aturan
ini merupakan kompilasi kitab hukum Jawa Kuno. Aturan ini dipakai sebagai
pedoman dalam memutuskan perkara perdata dan pidana di wilayah Kesultanan
Cirebon. Pepakem ini kemudian diadopsi oleh Sultan Bone dan Goa untuk dijadikan
undang-udang.
Kebijakan adopsi
terhadap hukum Islam berlangsung hingga masa pemerintahan Gubernur Jendral
Daendels (1808-1811).hal ini tidak lepas dari peran ahli hukum Belanda,
khususnya yang menulis tenang Islam di Indonesia. Diantaranya adalah J.E.W. van
Nes, A. Meurenge,dan Lodewijk Willem Christian van den Berg yang merupakan ahli
hukum yang paling baerjasa dalam hal ini dengan teorinya yang bernama receptio
in complexu. Dian juga mengkonsepkan Statsblaad 1882 No.152 yang berisi
ketentuan bahwa yang berlaku bagi rakyat jajahan yang beragama Islam adalah
hukum Islam. Peraturan lain yang menguatkan berlakunya hukum Islam sepenuhnya
bagi umat Islam adalah Reglement of het Beleid der Regering ven Nederlandsch
Indie ( RR ) yang menegaskan bahwa bagi hakim Indonesia hendaklah memberlakukan
hukum agama dan kebiasaan penduduk Indonesia.
Periode kedua ditandai dengan
munculnya kebijakan yang bersifat intervensionis terhadap hukum Islam dan hukum
adat. Masa inilah terjadi represi dan eliminasi terhadap pemberlakuan hukum
Islam. Periode ini di mulai ketika terjadi transfer kekuasaan dari VOC kepada
pemerintah kerajaan Belanda. Pemerintah kerajaan belanda melakukan represi
terhadap hukum Islam dengan cara mengonfrontasikannya dengan hukum adat.
Kebijakan-kebijakan hukum pemerintah Belanda ditujukan untuk meminimalisir dan
mengeliminir peran hukum Islam. Pada masa ini muncul peraturan-peratutan yang
mensubordinasikan hukun Islam di bawah Hukum adat.
Upaya pertama Belanda
untuk mengurangi fungsi dan peran system hukum Islam adalah dengan memperlemah
institusi peradilannya. Pada tahun 1824 fungsi penghulu sebagai penasehat hukum
dihapus. Pada tanggal 24 Januari 1882 Belanda mengeluarkan Stbl 1882 No.152
tentang berdirinya peradilan agama di Jawa dan Madura. Pengadilan ini dipimpin
oleh seorang penghulu dan dibantu oleh para ulama. Berdirinya lembaga ini menjukkan adanya
pengakuan yuridis pemerintah Belanda terhadap keberadaan hukum Islam.
Akibat dari pelembagaaan
peradilan Islam adalah, bahwa setiap keputusan harus diratifikasikan kepada
pengadilan umum sebelm diimplementasikan. Hal ini jelas merugikan penghulu,
karena pada kenyataannya nasehat-nasehat dari penghulu sering dikesampingkan.
Akibatnya terjadi ketegangan antara umat Islam dengan pemerintah kolonial.
Menyadari situasi ini pada tahun 1889 dibentuk Kantor Urusan Pribumi yang
diharapkan mampu meningkatkan saling pengertian antarapenjajah dengan
masyarakat jajahan.
Direktur pertama dari
kantor ini adalah Dr. Christian Snouck Hurgronje ( 1867-1936 ). Tugas dari
lembaga ini adalah memberikan advis kepada pemerintah Belanda dalam merumuskan
kebijakan terhadap umat Islam. Berdasarkan penelitiannya Snouck menemukan
metode yang menjadi dasar kebijakan pemerintah yaitu toleransi dalam kehidupan
agama dan kehati-hatian dalam menghadapi perluasan control politik islam.
Menurut Snouck, hukum Islam baru berlaku bila diterima atau dikehendaki oleh
hukum adat.
Upaya mengontrol operasionalisasi hukum Islam juga dilakukan
Belanda. Pada tahun 1929 muncul undang-undang perkawinan yang menempatkan
penghulu sebagai pejabat pemerintah yang berada di bawah kontrol bupati. Keadaan
ini memudahkan Belanda untukmenguasai dan mengintervensi pelaksanaan hukum
Islam.
Pada tahun 1931 keluar
Stbl No.53 tahun 1931 yang berisi 3 hal, yaitu: (1) priesterred akan dihapuskan
dan diganti dengan pengadilan penghulu, (2) penghulu berstatus sebagai abdi
pemerintah dan mendapatkan gaji tetap, (3) pengadilan banding akan dibentuk
untuk mereview keputusan-keputusan dari pengadilan penghulu. Namun peraturan
ini tidak pernah dilakanakan karena Belanda mengalami kesulitan keuangan. Untuk
mengobati kekecewaan uma Islam pada tahun 1937 dikeluarkan Stbl No.610 tentang
pembenukan Hof voor Islamietische Zaken atau Mahkamah Tinggi untuk menerima
perkara banding. Melalui Stlb. No. 116 tahun 1937,pemerintah memindahkan
penyelesaib masalah kewarisan dari peradilan Islam ke peradilan umum, dimana
perkara tersebut diselesaikand dengan hukm adat. Alasannya hukm Islam belum
sepenuhnya diterima oleh hukum adat. Di sini terjadi perebutan supremasi hukum
antara hukum adat yang diunggulkan Belanda dengan hukum Islam.
Reaksi pihak Islam
terhadap campur tangan Belanda dalam masalah hukum Islam banyak ditulis dalam
buku dan surat kabar. Jelas bahwa polotik hukum yang menjauhkan umat Islam dari
ketentuan-ketentuan agamanya adalah taktik Belanda untuk meneguhkan kekusaannya
di Indonesia. Apapun dilakukan Belanda untuk menguatkan posisi hukum adar dan
melemahkan hukum Islam di Indinesia.
Pada masa Jepang tidak
ada perubahan substantive terhadap peradilan hukum Islam dan hkum Isla. Jepang
hanya mengubah nama lembaga peradilan Islam dari priesterrad menjadi Sooryoo
Hooin dan Pengadilan Banding dari Hof voor Islamietsche menjadi Kaikyoo Kootoo
Hooin. Di Jawa dan Madura, lembaga ini menjalankan tugas menangani kasus-kasus
perkawinan, dan kadang member nasehat dalam bidang kewarisan.
C. Masa Kemerdekaan(1945 –
1998) ( Orde Lama dan Orde Baru )
Berakhirnya kolonialisme di Indonesia
sekaligus juga mengakhiri fase represi dan eliminasi terhadap pemberlakuan
hukum islam. Kedudukan hukum islam pada masa kemerdekaan mengalami kemajuan yang
berarti. Meskipun mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim, tetapi bukan
hal yang mudah untuk memberlakukan hukum islam di Indonesia. Pelan tapi pasti,
terjadi formatisasi terhadap hukum islam, sebagai konsekuensi dipilihnya
Pancasila sebagai Ideologi negara.
Pada fase hukum islam mengalami dua periode,
yaitu periode persuasive-source dan
authoritative-source. Periode persuasive
adalah periode penerimaan hukum islam sebagai persuasive, yaitu sumber yang
terhadapnya orang harus yakin dan menerimanya. Semua hasil sidang BPUPKI adalah
sumber persuasive bagi groundwetinterpretatie UUD 1945,
sehingga Piagam Jakarta juga merupakan persuasive-source
UUD 1945. Meskipun dalam UUD 1945 tidak dimuat tujuh kata piagam Jakarta, namun
hukum islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama islam berdasarkan pasal
29 ayat (1) dan (2).
Periode kedua, authoritative-source dimulai ketika piagam Jakarta ditempatkan
dalam dekrit presiden RI tahun 1959. Dalam konsiderans dekrit presiden
disebutkan “bahwa kami berkeyakinan bahwa piagam Jakarta bertanggal 22 juni
1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam
konstitusi tersebut.” Dengan demikian dasar hukum piagam Jakarta dan UUD 1945
ditetapkan dalam satu peraturan perundangan, yaitu Dekrit Presiden. Menurut
hukum tata negara Indonesia, keduanya memiliki kedudukan hukum yang sama.
Ketentuan di atas kemudian diwujudkan dalam
politik hukum sebagaimana dirumuskan dalam ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960.
Ketetapan itu berbunyi bahwa penyempurnaan hukum perkawinan dan hukum waris
hendaknya juga memperhatikan faktor-faktor agama. Namun hingga tahun 1968,
batas waktu berlakunya ketetapan MPRS No. 11/MPRS/1960 tidak satupun muncul
undang-undang dalam bidang hukum perkawinan dan kewarisan.
Memasuki orde baru, pembangunan nasional
dalam bidang terus diupayakan, termasuk dalam bidang hukum. Dalam rumusan Garis
Garis Besar Haluan Negara, yang merupakan haluan pembangunan nasional,
menghendaki terciptanya hukum baru Indonesia. Hukum tersebut harus sesuai dengan
cita-cita hukum pancasila dan UUD 1945 serta mengabdi kepada kepentingan
nasional. Hukum baru Indonesia harus memuat ketentuan-ketentuan hukum yang
menampung dan memasukkan hukum agama (termasuk hukum islam) sebagai unsur
utamanya. Inilah dasar yuridis bagi upaya formatisasi hukum islam dalam hukum
nasional.
Formatisasi hukum islam dilakukan dengan
upaya mentransformasikan hukum islam ke dalam aturan perundangan. Dalam
peraturan perundang-undangan kedudukan hukum islam semakin jelas. Dari sinilah
kemudian muncul legislasi hukum islam yang bersifat nasional, yaitu UU No.
1/1974 tentang Perkawinan dan UU No.28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
Pasal 2 ayat (2) UU No.1/1974 menetapkan bahwa perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum agama masing-masing. Dengan ketentuan ini berarti
terjadi perubahan hukum dari yang rasial etnis (masa kolonial) kepada hukum
yang berdasar keyakinan agama.
Institusi peradilan islam juga menenpati
posisi yang kuat berdasarkan UU No.14/1970 tentang kekuasaan Kehakiman. Dalam
pasal 10 ayat (1) ditetapkan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan
oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan
militer, dan peradilan tata usaha negara. Jenis peradilan tersebut meliputi
peradilan tingkat pertama dan tingkat pembanding. Dengan demikian peradilan
agama merupakan peradilan negara, yaitu peradilan resmi yang dibentuk oleh
pemerintah dan berlaku khusus untuk umat islam.
Keberadaan Peradilan Agama semakin jelas
dengan ditetapkannya UU No.7/1989 tentang kekuasaan Peradilan Agama. Kompetensi
Peradilan Agama memiliki dua ukuran, yaitu asas personalitas dan bidang hukum
perkara tertentu. Dalam Bab II Pasal 49-53 kewenangan peradilan agama meliputi
bidang-bidang hukum perdata antara lain: perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,
wakaf dan sadaqah. Dari bidang-bidang tersebut dapat dikatakan bahwa jurisdiksi
Peradilan Agama adalah biadang hukum keluarga (ahwal al-syakhsiyah).
Berdasarkan kompetensinya, maka diperlukan
hokum materil sebagai pedoman bagi para hakim peradilan Agama dalam menjalankan
tugasnya. Dalam menangani perkara, hakim peradilan Agama menggunakan kitab
fikih klasik sebagai dasar putusannya. Kitab fikih yang digunakan antara satu
peradilan agama dengan peradilan agama yang lain tidak sama. Hal ini
mengakibatkan adanya putusan yang berbeda dalam masalah yang sama.
Berdasarkan pertimbangan di atas,
dikeluarkanlah keputusan bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal
21 Maret 1985 No.07/KMA/1985 dan No.25/1985 tentang penunjukan pelaksanaan
pengembangan hukum Islam. Proyek ini dikenal dengan Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia. Pelaksanaannya dilakukan melalui empat jalur, yaitu jalur fikih,
wawancara, jurisprudensi dan studi komparatif ke negara-negara yang penduduknya
mayoritas islam. Hal ini dimaksudkan untuk mengkaji kitab-kitab fikih yang
digunakan sebagai dasar putusan hakim dan menyesuaikannya dengan perkembangan
masyarakat Indonesia menuju hukum nasional. Format KHI terbagi kedalam tiga
buku. Buku satu berisi tentang hukum perkawinan, buku dua tentang hukum
kewarisan dan buku tiga tentang hukum perwakafan.
Pemberlakuan hukum islam semakin menguat dan
melebar ke berbagai bidang. Dalam hal obat dan makanan diwajibkan memiliki
sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengkajian Produk Obat dan
Makanan (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia. Disamping itu, muncul
perundang-undangan yang mendukung terlaksananya hukum islam, seperti
UU.No.17/1999 tentang Penyelenggaraan Haji dan UU.No38/1999 tentang Pengelolaan
Zakat.
Berdasarkan deskripsi diatas, formatisasi
hukum agama Islam dalam hukum nasional dapat berupa hukum umum yang berlaku
nasional atau menjadi hukum khusus yang berlaku bagi umat islam saja. Hukum
islam yang berlaku nasional tercermin dalam UU No.1/1974 tentang perkawinan, PP
No.28/1977 Tentang Perwakafan, dan UU No.7/1992 Tentang Perbankan, di mana di
dalamnya diakui keberadaan Bank Islam. Formatisasi yang berupa hukum khusus
terlihat dalam inpres No.1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, UU No.17/1999
tentang Penyelenggaraan Haji, dan UU No.38/1999 tentang Pengelolaan Zakat.
D.
Masa
Reformasi (1998 - sekarang)
Ketika masa reformasi menggantikan orde baru
(tahun 1998), keinginan mempositifkan hukum islam sangat kuat. Perkembangan
hukum islam pada masa ini mengalami kemajuan. Secara riil hukum islam mulai
teraktualisasikan dalam kehidupan sosial. Wilayah cakupannya menjadi sangat
luas, tidak hanya dalam masalah hukum privat atau perdata tetapi masuk dalam
ranah hukum publik. Hal ini dipengaruhi oleh munculnya undang-undang tentang Otonomi
Daerah. Undang-undang otonomi daerah di Indonesia pada mulanya adalah UU
No.22/1999 tentang pemerintah daerah, yang kemudian diamandemen melalui UU
No.31/2004 tentang otonomi daerah. Menurut ketentuan Undang-undang ini, setiap
daerah memiliki kewenangan untuk mengatur wilayahnya sendiri termasuk dalam
bidang hukum.
Akibatnya bagi perkembangan hukum islam
adalah banyak daerah menerapkan hukum islam. Secara garis besar, pemberlakuan
hukum islam di berbagai wilayah Indonesia dapat dibedakan dalam dua kelompok,
yaitu penegakan sepenuhnya dan penegakan sebagian. Penegakan hukum islam
sepenuhnya dapat dilihat dari provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Penegakan model
ini bersifat menyeluruh karena bukan hanya menetapkan materi hukumnya, tetapi
juga menstruktur lembaga penegak hukumnya. Daerah lain yang sedang
mempersiapkan adalah Sulawesi selatan (Makassar) yang sudah membentuk Komite
Persiapan Penegak Syari’at Islam (KPPSI), dan kabupaten Garut yang membentuk
Lembaga Pengkajian, Penegakan, dan Penerapan Syari’at Islam (LP3SyI).
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam merupakan
daerah terdepan dalam pelaksanaan hukum islam di Indonesia. Dasar hukumnya
adalah UU No.44 tahun 1999 tentang Keistimewaan Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam. Keistimewaan tersebut meliputi empat hal, diantaranya ialah:
a.
Penerapan
syari’at islam diseluruh aspek kehidupan beragama,
b.
Penggunaan
kurikulum pendidikan berdasarkan syari’at Islam tanpa mengabaikan kurikulum
umum.
c.
Pemasukan
unsur adat dalam sistem pemerintah desa, dan
d.
Pengakuan
peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.
Tindak lanjut dari Undang-undang di atas
adalah ditetapkannya UU No.18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Nangroe Aceh
Darussalam.
Fenomena
pelaksanaan hukum islam juga merambah daerah-daerah lain di Indonesia, meskipun
polanya berbeda dengan Aceh. Berdasarkan prinsip otonomi daerah, maka munculah
perda-perda bernuansa syari’at Islam di wilayah tingkat I maupun tingkat II.
Daerah-daerah tersebut antara lain: provinsi Sumatera barat, kota Solok, Padang
pariaman, Bengkulu, Riau, Pangkal Pinang, Banten, Tanggerang, Cianjur, Gresik,
Jember, Banjarmasin, Gorontalo, Bulukumba, dan masih banyak lagi.
Materi perda syaria’at Islam tidak bersifat
menyeluruh, tetapi hanya menyangkut masalah-masalah luar saja. Jika
dikelompokkan berdasarkan aturan yang tercantum dalam perda-perda syari’at,
maka isinya mencakup masalah: kesusilaan, pengelolaan Zakat, Infaq dan Sadaqah,
Penggunaan busana muslimah, pelarangan peredaran dan penjualan minuman keras,
pelarangan pelacuran, dan sebagainya.
3.FAKTOR
PENDUKUNG DAN PENGHAMBAT HUKUM ISLAM DI INDONESIA
Untuk mengetahui bagaimana masa depan kedudukan dan keberlakuan hukum
islam di Indonesia, harus dilihat dari berbagai faktor yang mendukung adanya
penerimaan (sustainsi) dan juga faktor yang menghambat atau melakukan
resistensi. Kedua faktor ini perlu dipertimbangkan mengingat dua hal, yaitu
bentuk negara dan kemajemukan masyarakat Indonesia. Bentuk negara Indonesia
sudah dianggap final, dan pluralitas masyarakat juga sebuah kenyataan sosial.
Dengan demikian yang dapat dilakukan adalah mengetahui berbagai peluang atau
prospek sekaligus melihat penghambat bagi implementasi hukum islam di
Indonesia.
Secara politis maupun sosiologis
terdapat faktor-faktor yang dianggap sebagai pendukung bagi pemberlakuan hukum
islam di Indonesia. Faktor-faktor tersebut adalah: kedudukan hukum islam,
penganut yang mayoritas, ruang lingkup hukum islam yang luas, serta dukungan
aktif organisasi kemasyarakatan islam. Kedudukan huku islam sejajar dengan
hukum yang lain, dalam artian mempunyai kesempatan yang sama dalam pembentukan
hukum nasional. Namun, hukum islam mempunyai prospek yang lebih cerah
berdasarkan berbagai alasan, baik alasan historis,yuridis,maupun
sosiologis.Nilai-nilai huku islam mempunyai lingkup yang lebih luas, bahkan
sebagian nilai-nilai tersebut sudah menjadi bagian dari kebudayaan nasional.
Sedangkan hukum adalah bagian dari kebudayaan.
Faktor lain, kenyataan bahwa islam
merupakan agama dengan penganut mayoritas merupakan aset yang menjanjikan.
Dengan modal mayoritas ini, umat islam bisa masuk dalam berbagai lembaga
pemerintahan, baik eksekutif,legislatif, maupun yudikatif, yang mempunyai
kewenangan menetapkan politik hukum. Logikanya, semakin banyak populasi muslim,
maka semakin banyak pula aspirasi yang masuk dan terwakili. Namun realitas ini
tidak serta merta menjadi menjadi niscaya, karena sangat tergantung pada
bagaimana keinginan dan upaya umat islam mengimplementasikannya.
Faktor pendukung lain terletak pada
cakupan bidang hukum yang luas. Dengan keluasan bidangnya, hukum islam
merupakan alternatif utama dalam pembentukan tata hukum,karena mampu
mengakomodasi berbagai kebutuhan hukum masyarakat. Pelaksanaannya dapat
dilakukan dengan mengambil nilai-nilai islam yang bersifat universal (sebagai
norma abstrak) untuk dijadikan sebagai konsep teoritis guna dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan. Faktor keempat yang juga penting adalah peran
aktif lembaga atau organisasi islam. Secara struktural keberadaan
organisasi-organisasi islam dalam sistem politik Indonesia menjadi pengimbang
bagi kebijakan pemerintah. Kontribusi nyata dari berbagai organisasi islam
setidaknya menjadi daya tawar dalam pengambilan berbagai keputusan yang
menyangkut kepentingan umum.
Keempat faktor diatas memberikan
gambaran betapa hukum islam memiliki peluang yang besar untuk menjadi hukum
nasional. Namun semua itu tergantung bagaimana umat islam mengelola potensi
tersebut. Hal yang terpenting adalah menyatukan visi tenteng islam, tanpa
kesatuan islam maka cita-cita untuk mengimplementasikan hukum islam hanya akan
menjadi angan-angan, atau hanya tampil dalam wacana diskusi di kalangan umat
islam.
Disamping peluang atau prospek
positif di atas, perlu dicermati juga hambatan yang menjadi penghalang bagi
berlakunya hukum islam di Indonesia. Secara sederhana faktor yang tidak
mendukung prospek hukum islam di Inddonesia tediri dari faktor internal dan
ekstenal. Faktor internal berasal dari kurang ‘kafahnya’ (maxsimal)
institusionalisasi dan pandangan dikotomis terhadap hukum islam. Sedangkan
faktor eksternalnya adalah pengaruh politik hukum pemerintah terhadap
bidang-bidang hukum tertentu.
Belum kafahnya pelembagaan
hukum Islam di Indonesia terlihat dari pandangan dikhotomis dalam
implementasinya. Hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah perdata atau
hubungan antar pribadi hampir sepenuhnya mendapat perhatian khusus. Namun
hukum-hukum selainnya, seperti hukum pidana dan ketatanegaraan belum tersentuh
atau minim perhatian. Sehingga penetapan peraturan-peraturan atau hukum yang berlaitan
dengan masalah tersebut belum ada campur tangan yang serius. Hal ini tidak
lepas dari peran kolonial Belanda yang melakukan represi dan eliminasi terhadap
hukum Islam. Pada masa kerajaan islam, hukum Islam berlaku sepenuhnya, dalam
arti menjadi pegangan para hakim/ qadhi untuk memutuskan jenis perkara,
baik perdata maupun pidana. Intervensi penjajah dengan kekuatan politiknya
menyebabkan terjadinya dikhotomis, dimana hukum pidana dan tata negara
digantikan dengan sistem hukum Barat/ Eropa.
Pola dikhotomi hukum
privat dan publik ini berlanjut setelah Indonesia merdeka. Pemerintah yang baru
hanya memberi kewenangan pemberlakuan hukum perdata Islam. Sedangkan hukum
publik menjadi monopoli pemerintah,yang masih memberlakukan hukum Belanda.
Pengadilan Agama sebagai institusi resmi, hanya berwenang menangani
perkara-perkara yang terjadi diantara orang-orang yang beragama Islam,misalnya
dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, serta sadaqoh yang
dilaksanakan menurut hukum Islam.
Kurang melembagakan
hukum publik Islam ini juga dipengaruhi oleh faktor politik hukum. Negara
Indonesia bukanlah negara agama, permasalahan penetapan hukum adalah kekuasaan
negara, termasuk masalah agama menjadi wewenang negara. Sehingga dalam hal ini
umat Islam sepenuhnya tunduk pada undang-undang yang diberikan oleh negara.
Menyikapi hal ini perlu adanya penegasan kaidah agama dengan cara penegakan
diri agar para penganutnya tidak melanggar ajaran agamanya. Dengan demikian,
syariat Islam tidak hanya didakwahkan tetapi diaktualisasikan dan
disosialisasikan guna membatasi kelemahan dan kekurangan hukum positif.
Dari paparan di atas
dapat disimpulkan bahwa perkembangan hukum Islam di Indonesia pada dasarnya
ditentukan oleh dua hal, yaitu keinginan umat Islam sendiri dan kebijakan
pemerintah yang berkuasa. Ketika kedua hal tersebut bergayut, maka pemberlakuan
hukum Islam menjadi mudah. Namun sebaliknya jika kedua hal tersebut
bertentangan orientasinya, maka pemerintah menjadi pihak yang menentukan
kedudukan hukum Islam. Kondisin inilah yang mewarnai sejarah hukum Islam di
Indonesia sejak masa awal hingga masa kontemporer sekarang. Seberapa besar
keinginan umat Islam dan seberapa kuat bargaining powernya menjadi
faktor yang menentukan eksistensi hukum Islam.
4 komentar:
min... kunjungi blog ku jga ya.... ditunggu..
http://indananurlela.blogspot.com/
Izin copy min
Izin copy min
enak aja copy ip ifrizal
bayar donk
Posting Komentar