Senin, 21 Januari 2013

Akulturasi Islam dan Budaya Lokal


BAB I
PENDAHULUAN

A.     LATAR BELAKANG
Kebudayaan dibangun oleh masyarakat dengan pemikiran yang abstrak tentang apa yang penting  dan bernilai  dalam  hidupnya. Kebudayaan menjadi pedoman  hidup  baik itu tindakan maupun sikap, melalui proses penyamaan pandangan masyarakat atas pendapat  pribadi. Pedoman  hidup tersebut disetujui bersama  dan kemudian  menjadi latar kebudayaan. Jawa yang dikenal sebagai daerah yang memegang teguh kebudayaan tapi tidak menutup diri atas sesuatu yang baru untuk membangun kekayaan budaya yang dimilikinya, misalnya masuknya agama Islam.
Perkembangan Agama Islam di Jawa semakin hari semakin pesat. Penyebaran tersebut tak lepas dari pengaruh akulturasi budaya, khususnya dengan budaya lokal.Akulturasi ini merupakan manifestasi dari pengaruh peradaban dan budaya yang begitu mendominasi masyarakat Jawa pada saat itu. Bahkan, pada hampir semua tatanan sosial masyarakat, budaya dan peradaban menjadi objek akulturasi ini.
Sehingga, akulturasi dapat dikatakan sebagai bentuk perpaduan Islam dan budaya lokal dengan pola meneruskan dan menambah budaya yang ada dengan memberi makna dan nama baru sesuai dengan nilai-nilai Islam.

B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan  latar belakang di atas, ada beberapa permasalahan yang muncul, antara lain:
1.   Apa yang dimaksud dengan akulturasi itu?
2.   Apa yang dimaksud dari kesenian itu?
3.   Apa wujud  akulturasi Islam dan budaya lokal dalam bidang kesenian?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Akulturasi
Berikut ini adalah pengertian akulturasi menurut para ahli, antara lain:[1]
a.       Menurut Harsoyo, Akulturasi adalah fenomena yang timbul sebagai hasil jika kelompok-kelompok manusia yang mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda bertemu dan mengadakan kontak secara langsung dan terus-menerus yang kemudian menimbulkan perubahan dalam pola kebudayaan yang original dari salah satu kelompok atau kedua-duanya.
b.      Koentjaraningrat, Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah kita dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.
c.       Menurut Garbarino:“Acculturation is the process of culture change as a result of long term, face to face contact between two societies”. (Akulturasi adalah proses perubahan budaya sebagai akibat jangka panjang, tatap muka kontak antara dua masyarakat ).
d.      Menurut kamus Antropologi ( Aryono, 1985) adalah pengambilan atau penerimaan satu atau beberapa unsur kebudayaan yang berasal dari pertemuan dua atau beberapa unsur kebudayaan yang saling berhubungan atau saling bertemu tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebuadayaan yang asli itu sendiri.[2]
Dari berbagai defini di atas, dapat disimpulkan bahwa akulturasi merupakan perpaduan antara dua budaya atau lebih yang saling berhubungan atau saling bertemu, tetapi tidak menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.
Dalam konsep akulturasi ini, Islam diposisikan sebagai kebudayaan asing dan masyarakat sebagai lokal sebagai penerima kebudayaan asing tersebut.

B.  Pengertian Kesenian
Berikut ini adalah pengertian dan definisi kesenian menurut beberapa ahli:[3]
·    KOTTAK
Seni sebagai kualitas, hasil ekspresi, atau alam keindahan atau segala hal yang melebihi keasliannya serta klasifikasi objek-subjek terhadap kriteria estetis.
·    J.J HOGMAN
Kesenian adalah sesuatu yang mempunyai unsur ideas, activities, dan artifacts.
·    KOENTJARANINGRAT
Kesenian adalah suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan dimana kompleks aktivitas dan tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat dan biasanya berwujud benda-benda hasil manusia.
·    WILLIAM A. HAVILAND
Kesenian adalah keseluruhan sistem yang melibatkan proses penggunaan imajinasi manusia secara kreatif di dalam sebuah kelompok masyarakat dengan kebudayaan tertentu.


·    IRVING STONE
Kesenian adalah kebutuhan pokok. Seperti  roti atau anggur atau mantel hangat dimusim dingin. Mereka yang mengira kesenian adalah barang mewah, pikirannya tidak utuh. Roh manusia menjadi lapar akan kesenian seperti halnya perutnya keroncongan minta makan.
Jadi dapat disimpulkan, kesenian adalah bagian dari budaya dan merupakan sarana yang digunakan untuk mengekspresikan rasa keindahan dari dalam jiwa manusia. Selain mengekspresikan rasa keindahan dari dalam jiwa manusia, kesenian juga mempunyai fungsi lain. Misalnya, mitos berfungsi menentukan norma untuk perilaku yang teratur serta meneruskan adat dan nilai-nilai kebudayaan. Secara umum, kesenian dapat mempererat ikatan solidaritas suatu masyarakat.

C.  Wujud Akulturasi Islam dan Budaya Lokal Dalam Bidang Kesenian
Akulturasi Islam dan budaya lokal dalam bidang kesenian bisa dilihat pada kesenian wayang, seni arsitektur, dan seni kaligrafi.
1)  Seni Wayang
Dalam kamus, wayang adalah boneka tiruan orang dan lain sebagainya yang terbuat dari pahatan kulit atau kayu dan lain sebagainya yang dapat dimanfaatkan untuk memerankan tokoh di pertunjukan drama tradisional.[4]
Perkembangan bidang seni, khususnya dalam seni wayang ini tidak lepas dari para walisongo. Karena penyampaian dakwah Islam berjalan sangat efektif melalui pagelaran wayang. Dengan menampilkan pagelaran wayang, para wali telah mampu mengakomodasi nilai-nilai Islam agar tersampaikan pada khalayak.
Seni wayang itupun akan berkaitan dengan seni-seni yang lain. Adapun cabang-cabang seni yang dimaksud, antara lain:[5]
·     Seni mengarang
Isi cerita wayang merupakan hasil karangan dan hasil seni, dan menampakkan rangkaian cerita-cerita yang jalin-menjalin sangat rapi. Sehingga, dalam pertunjukkan wayang, ditekankan agar dalang memiliki kecakapan dalam mengarang agar tercipta rangkaian cerita yang sangat indah.
·     Seni sastra
Seni sastra perkembangannya juga tidak kalah mengagumkan. Beberapa ulama telah mampu menuliskan karya sastra yang memiliki corak Islam semisal hikayat, babat, suluk dan sebagainya.
Sedangkan seni sastra yang terdapat di dalam wayang, merupakan hasil seni sastra daerah yang beraneka ragam, dari dialog-dialog di kalangan yang rendah sampai lapisan yang tinggi, dari sajak-sajak, dari parikan-parikan harian sampai tembang-tembang gedhe yang sangat bermutu, dan uraian-uraian halus tentang suatu negara sampai tempat-tempat pertapaan di gunung-gunung yang sunyi, dari ucapan-ucapan yang penuh perasaan seni, kemarahan sampai pujian-pujian yang penuh cinta dan kemesraan, serta unsur-unsur dalam seni sastra lain yang bermutu.
·     Seni suara vokal
Seni suara vokal atau suara manusia yang berlagu dari yang sangat sederhana sampai yang berliku-liku penuh berirama. Dalam pementasan wayang, suara ampuh ki dalang yang telah menguasai seluruh jenis lagu serta memiliki kecakapan yang luar biasa dalam menirukan suara siapa saja.
·     Seni suara instrumental
Seni suara instrumental sebagai hasil seni konser gamelan yang lengkap dengan bunyi karena pukulan, geseran, tokelan dengan jari, tiupan, dengan timbre yang bermacam-macam sehingga seluruhnya merupakan perpaduan suara yang luar biasa. 


·     Seni tari
Seni tari sebagai hasil gerakan seperti berjiwa dari wayang, karena kecakapan ki dalang dan kecintaannya dalam cabang seni itu.
·     Seni pahat
Seni pahat tampak jelas dalam tubuh dan pakaian wayang, seluruhnya telah dikerjakan dengan halus, teliti, dan penuh perhatian.
·     Seni bentuk
Seni bentuk “baru” yang berwujud wayang kulit sebagai hasil pemikiran atau hasil cipta, ataupun hasil penerimaan ilham para wali dan para ahli seni lainnya.
·     Seni lukis
Seni lukis yang terdapat dalam wayang kulit adalah hasil pekerjaan seni yang sangat teliti. Melakukan kombinasi warna-warna dan melakukan pengecatan muka akan menampakkan watak-watak dari wayang itu masing-masing.
Sehingga, dalam pertunjukan wayang akan terjadi perpaduan bermacam-macam seni yang tidak sedikit jumlahnya, perpaduan yang harmonis luar biasa dan telah mewujudkan hasil seni yang adi luhung dalam arti yang sebenarnya.[6]
2)  Seni Arsitektur
Djauhari Sumintardjo mengemukakan tentang pengertian arsitektur bahwa arsitektur merupakan sesuatu yang dibangun manusia untuk kepentingan badannya (melindungi diri dari gangguan) dan kepentingan jiwanya(kenyamanan, ketenangan, dan lain-lain).[7] Arsitektur Islam adalah sebuah karya seni bangunan yang terpancar dari aspek fisik dan metafisik bangunan melalui konsep pemikiran islam yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah Nabi, Keluarga Nabi, Sahabat, para Ulama maupun cendikiawan muslim.[8]
Akulturasi Islam dan budaya Jawa dalam bidang arsitektur sebenarnya sudah dapat dilihat sejak awal islam masuk di Jawa, karena salah satu saluran penyebaran Islam di Jawa dilakukan melalui karya seni arsitektur. Sementara itu, sebelum Islam masuk, masyarakat jawa telah memliki kemampuan dalam melahirkan karya seni arsitektur, baik yang dijiwai oleh nilai asli Jawa maupun yang telah dipengaruhi oleh Hindu dan Budha. Hal tersebut dibuktikan dengan berdirinya berbagai jenis bangunan seperti candi, keraton, benteng, kuburan, rumah pendopo, dan lain-lain.[9]
Dalam bidang arsitektur, akulturasinya dapat dlihat pada bangunan seperti Masjid Agung Demak, Menara Kudus, Masjid Agung Banten, Kasepuhan Cirebon dan lain sebagainya. Semua bangunan tersebut tampak dengan adanya sentuhan budaya lokal yang menjadikan kehadiran masjid mudah diterima oleh masyarakat setempat, tanpa terjadi penolakan atau gejolak sebagai akibat adanya transisi ke agama baru.[10]
Jika diamati secara seksama masjid-masjid di Indonesia umumnya dan di Jawa pada khususnya, hampir semua tipe bangunannya sama. Lebih-lebih yang didirikan pada masa berkembangnya agama Islam. Berbeda dengan masjid-masjid di dunia Islam pada umumnya, maka masjid tradisional Jawa banyak mempunyai perbedaan, seperti :[11]
a.   Denah Empat Persegi
Kebanyakan masjid-masjid tradisional di Jawa masih berdenah mendapa (mandapa, pendapa). Menurut Sutjipto Wirjasupa, mandapa merupakan istilah yang berasal dari bahasa sanskerta yang berarti suatu bagian kuil agama hindu di India. Bentuk mandapa mempunyai denah persegi dan dibangun di atas tanah. Istilah ini kemudian dilafalkan sebagai pendapa dalam bahasa jawa. Denah bangunan yang persegi itu, kemudian ditiru sebagai denah bangunan tempat-tempat ibadah umat islam, yaitu masjid dan langgar.
b.   Mihrab
Mihrab adalah tanda arah kiblat, yang bentuknya menyerupai lengkungan pintu mati, dan dipergunakan sebagai tempat imam memimpin shalat. Hampir semua masjid yang ada di dunia mempunyai mihrab, termasuk Indonesia. Di Jawa, biasanya mihrab disebut dengan pengimaman dan di daerah Sunda disebut paimaman (tempat imam).
c.   Serambi
Serambi adalah ruangan bagian depan dari masjid. Menurut filsafat orang kuno, ruangan ini mempunyai nilai yang lebih rendah (semi sakral), jika dibanding dengan ruangan masjidnya (yang sakral). Jika fungsi ruangan masjid khusus untuk shalat dan i’tikaf saja, maka ruang serambi di samping berfungsi sebagai kedua hal tersebut, serambi juga berfungsi sebagai tempat pengajian, pernikahan, dan sebagainya.
d.   Pawestren
Kata pawestren diambil dari bahasa Jawa yang berarti: tempat untuk orang-orang wanita. Maksudnya, ruangan khusus yang dipakai oleh para jama’ah wanita dalam mengikuti ibadah shalat berjama’ah, sehingga terpisah dari jama’ah pria
e.   Bedug dan Kentongan
Bedug dan Kenthongan sebenarnya sudah ada sejak zaman pra islam. Bedug ini digunakan sebagai tanda bahaya, peringatan perang dan hal mendesak lainnya pada masa kerajaan majapahit. Dibunyikannya bedug juga digunakan untuk menandai tibanya waktu. Dalam bahasa jawa disebut “wis wanci keteg” yang artinya sudah waktu siang.[12]
Hampir semua masjid lama di Indonesia mempunyai bedug (tabuh) dan kentongan. Di jawa tengah biasanya kedua benda tersebut terletak di serambi, sedangkan di Jawa Timur terletak di gapura. Fungsi dari kedua benda itu untuk tanda dan isyarat bahwa waktu shalat telah tiba. Di samping itu juga berfungsi sebagai sarana memanggil jama’ah untuk melaksanakan shalat.
D.A. Rinkers dalam bukunya ‘De Heiligen van Java’  menyatakan,  Sunan Kalijaga pernah memerintahkan kepada Sunan Pandan Arang agar membuat bedug dan kentongan untuk memanggil orang-orang agar ikut berjamaah di masjid. Di samping itu ada yang berpendapat bahwa biasanya bedug itu berbunyi “dheng…dheng..dheng” yang merupakan kependekan dari kata jawa “medheng” yang artinya muat/cukup. Adapun kentongan berbunyi “thong….thong…thong..” yang merupakan kependekan dari kata “kothong” yang berarti kosong. Maksudnya bahwa masjid atau langgar itu masih kosong dan mengajak umat islam untuk shalat berjama’ah di masjid tersebut.
f.    Atap Tumpang
Jika diamati lebih lanjut, keadaan masjid-masjid di Jawa kebanyakan bentuk atapnya bertingkat. Dengan demikian identitas suatu masjid akan segera dapat diketahui dari atapnya yang dibuat lancip keatas dan bertingkat-tingkat. Kadang-kadang atapnya terdiri dari dua, tiga, empat, atau lima tingkat dan biasanya berjumlah ganjil.
Pertama kali terdapatnya bangunan yang bentuk atapnya tumpang ialah bangunan Meru (kuil hindu di Bali) di masa pra islam. Atapnya terdiri dari lima sampai sepuluh tingkatan dan atasnya ditutup dengan mustaka. Terkait dengan hal tersebut, Soekmono mengatakan bahwa atap tumpang dianggap sebagai bentuk perkembangan dari dua unsur berlainan yaitu atap candi yang denahnya bujur sangkar dan selalu bersusun dan puncak stupa yang adakalanya tersusun seperti payung-payung yang terbuka.
Sementara Sutjipto Wirjasuprata menjelaskan bahwa atap masjid yang bertingkat-tingkat itu berhubungan dengan estetika.
Dan HAMKA menafsirkan bahwa atap yang demikian mempunyai makna sebagai berikut :
·    Atap tingkat paling bawah beserta lantainya melambangkan syari’ah serta amal perbuatan manusia.
·    Atap tingkat dua melambangkan tariqah, yakni jalan untuk mencapai ridha Allah.
·    Atap yang ketiga melambangkan hakikat, yaitu ruh atau hakikatnya amal perbuatan seseorang.
·    Puncak atau mustakanya melambangkan ma’rifat, yaitu tingkat mengenal Allah SWT.
g.   Benteng dan Gapura
Benteng adalah pagar atau tembok keliling yang melingkari bangunan masjid. Selain sebagai pengaman, benteng juga berfungsi sebagai pemisah antara bagian yang sakral dan non sakral (pemisah antara lingkungan masjid dan bukan masjid). Oleh karena itu, jika seseorang sudah memasuki benteng masjid hendaklah sudah dalam keadaan suci lahir batin, terutama dalam tutur kata, perbuatan, dan lain sebagainya.
Benteng dan gapura juga sudah ada sejak zaman pra Islam. Di Meru juga terdapat gapura ataupun benteng yang membatasinya. Barangsiapa yang masuk di pura tersebut maka harus dalam keadaan suci. Perempuan yang sedang haid juga tidak diperkenankan memasuki area tersebut.
h.   Makam
Makam atau yang disebut dengan kuburan banyak dijumpai di sebagian  masjid-masjid tradisional. Makam terletak di belakang mihrab, seperti halnya di masjid wali di Demak, Kudus, Kali Nyamat Jepara dan sebagainya. Yang dimakamkan di situ ialah para pejuang islam dan para syuhada’ atau keluarga yang masih ada hubungannya dengan keduanya.
i.    Tiada Bermenara
Dalam buku ‘Mesjid dan Makam Dunia Islam’ disebutkan, perbedaan antara masjid-masjid di negara asing dengan masjid di Nusantara yaitu tidak adanya menara (tempat muadzin mengumandangkan adzan). Biasanya orang yang mengumandangkan adzan cukup di dalam masjid saja, asal terdengar oleh orang yang ada di sekitarnya saja.

3)  Seni Kaligrafi
Seni kaligrafi merupakan seni melukis indah. Kata kaligrafi berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘Kalios’ (indah) dan ‘Graphia’ (tulisan). Seni kaligrafi sudah berkembang sejak zaman Nabi Muhammad saw. Seni kaligrafi dapat berkembang di dunia Islam karena Islam melarang umatnya untuk melukis makhluk hidup maupun membuat arca.[13]













BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
Ø Akulturasi merupakan perpaduan antara dua budaya atau lebih yang saling berhubungan atau saling bertemu, tetapi tidak menyebabkan hilangnya kepribadian kebuadayaan itu sendiri. Dalam konsep akulturasi ini, Islam diposisikan sebagai kebudayaan asing dan masyarakat sebagai lokal sebagai penerima kebudayaan asing tersebut.
Ø Kesenian adalah bagian dari budaya dan merupakan sarana yang digunakan untuk mengekspresikan rasa keindahan dari dalam jiwa manusia. Selain mengekspresikan rasa keindahan dari dalam jiwa manusia, kesenian juga mempunyai fungsi lain. Misalnya, mitos berfungsi menentukan norma untuk perilaku yang teratur serta meneruskan adat dan nilai-nilai kebudayaan. Secara umum, kesenian dapat mempererat ikatan solidaritas suatu masyarakat.
Ø Akulturasi Islam dan budaya lokal dalam bidang kesenian bisa dilihat pada kesenian wayang, seni arsitektur, dan seni kaligrafi.

B.  Penutup
Demikianlah makalah yang kami buat, semoga bermanfaat. Apabila ada kekurangan dan kesalahan dalam penulisan kami mohon maaf. Saran dan kritik yang bersifat konstruktif senantiasa kami harapkan demi kesempurnaan makalah yang akan datang.






DAFTAR PUSTAKA
Mundzirin dkk. 2005. Islam dan Budaya Lokal. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga
Abdul Jamil dkk. 2000. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media
Tim Penyusun Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga. 2007. PAI SMK Kelas XII. Klaten: Cempaka Putih
Tim Penyusun Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga. 2007. PAI SMK Kelas XI. Klaten: Cempaka Putih
http://www.scribd.com/. Teori-Komunikasi-Antarbudaya. Diakses tanggal 13 November 2012
http://id.wikipedia.org/. Arsitektur_Islam. Diakses tanggal 13 November 2012
http://asal-usul motivasi.blogspot.com/. Sejarah-bedug. Diakses tanggal 13 November 2012


[2]Mundzirin dkk, Islam dan Budaya Lokal, (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2005), hal. 16
[4]Mundzirin dkk, op. cit., hlm. 141
[5]Ibid,hlm. 141-148
[6]Mundzirin dkk, op. cit., hlm 141-146.
[7]Djauhari Sumintardjo, dalam Bunga Mulia, Definisi Arsitektur Menurut Para Ahli,http://www.scribd.com/doc/57673058/Definisi-Arsitektur-Menurut-Para-Ahli
[9]Abdul Jamil dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta:Gama Media, 2000), halaman 188
[10]Tim Penyusun Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, PAI SMK Kelas XII, (Klaten: Cempaka Putih, 2007), hlm. 89-90
[11]Mundzirin dkk, op. cit.,hlm.150
[12]Ikhsan Hafiyudin, Sejarah Bedug, http://asal-usul motivasi.blogspot.com/2011/03/ sejarah-bedug.html
[13]Tim Penyusun Fakultas Tarbiyah UIN Sunan Kalijaga, PAI SMK Kelas XI, (Klaten: Cempaka Putih, 2007), hlm. 87-88

1 komentar:

AZLA mengatakan...

Kunjungan malam kawan
postingannya sangat bermanfaat sekali kawan, bisa untuk bahan referensi
terima kasih sudah berbagi

Posting Komentar