Korupsi telah begitu mewabah serta menggerogoti bangsa ini,
mengakibatkan semakin rapuhnya kehidupan berbangsa dan bernegara.
Korupsi telah merambah berbagai sektor dalam pemerintahan. Badan
Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif tak ada yang luput dari jerat laku
korupsi. Meskipun satu persatu kasus korupsi berhasil diungkap aparat
hukum, namun kasus serupa juga banyak bermunculan.
Sulitnya menghilangkan budaya korupsi dari negeri ini ibarat mengurai
benang kusut. Satu kasus korupsi diselesaikan, seribu kasus korupsi
bermunculan. Tercatat sepanjang tahun 2012 banyak pejabat yang
ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Setelah penetapan Nazaruddin
sebagai tersangka korupsi pengadaan wisma atlet, beberapa pejabatpun
juga ikut ditetapkan sebagai tersangka kasus serupa. Yang mutakhir
adalah penepatan mantan juru bicara presiden Andi Alifian Mallarangeng
sebagai tersangka kasus korupsi proyek pusat olahraga Hambalang.
Penetapan Andi dan Nazaruddin sebagai tersangka harus menjadi entry point
bagi aparat penegak hukum untuk mengungkap lebih jauh praktek korupsi
dalam kasus lain yang selama ini menjadi sorotan publik. Semisal kasus
korupsi Bank Century yang sekarang entah bagaimana perkembangannya. Jika
aparat pengadilan mampu membuktikan dugaan korupsi yang dipersangkakan,
meminjam istilah Lord Acton berarti mereka telah meyalahgunaan
kekuasaan (abuse of power).
Dua abad silam, Lord Acton pernah menulis sebuah ungkapan yang
menghubungkan antara korupsi dan kekuasaan dalam surat yang ditujukan
pada Bishop Mandell Creighten. Acton mengatakan, “Power tends to corrupt
and absolute power corrupts absolutely”. Ungkapan ini berarti bahwa orang yang memiliki kekuasaan cenderung menyalahgunakannya dan orang yang memiliki kekuasaan absolut pasti akan menyalahgunakannya
and absolute power corrupts absolutely”. Ungkapan ini berarti bahwa orang yang memiliki kekuasaan cenderung menyalahgunakannya dan orang yang memiliki kekuasaan absolut pasti akan menyalahgunakannya
Melihat praktek korupsi telah begitu rupa menggerogoti bangsa ini, maka
semangat memberantas korupsi harus terus dikobarkan.Memerangi korupsi
masih menjadi agenda besar bangsa dalam menciptakan peradaban yang
berpemerintahan bersih tanpa korupsi. Sebab, korupsi merupakan penyakit
peradaban yang dapat meruntuhkan kokohnya bangunan suatu bangsa.
Para pejuang antikorupsi tidak boleh pesisimistis dalam upaya-upayanya
memberantas korupsi karena melihat begitu banyak kasus-kasus korupsi
yang belum terungkap. Mereka harus tetap terus menabuh genderang perang
pada korupsi. Publik sangat mendukung upaya-upaya pembersihan negeri ini
dari bahaya korupsi.
Harus ada kesepahaman di antara aparat penegak hukum bahwa korupsi
merupakan penyakit berbahaya yang terus merapuhkan kokohnya bangsa ini.
Korupsi perlu dipangkas habis tanpa tersisa sedikitpun. Karena korupsi
merupakan penyakit yang sangat berbahaya bagi kelangsungan suatu bangsa,
baik masa sekarang maupun yang akan datang.
Dalam upaya memberantas korupsi, tak cukup hanya satu lembaga yang
dengan lantang meneriakkan semangat antikorupsi. Perlu adanya kerjasama
berbagai pihak agar korupsi tidak terus mewabah di Bumi Indonesia. Tak
cukup dengan hal itu, diperlukan juga pengetahuan dan strategi yang
tepat agar tujuan dapat tercapai dengan mudah. Senada dengan hal itu,
Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan pernah mengingatkan bahwa
memberantas korupsi tidak cukup ditempuh hanya dengan menggelorakan
gemuruh perlawanan dan pekik antikorupsi.
Peringatan Anies ini sangat penting dikemukakan karena kemungkinan
faktor penghambat kinerja lembaga antikorupsi adalah sampai sekarang
aparat penegak hukum belum menemukan strategi yang tepat dalam upaya
pemberantasan korupsi. Strategi alternatif yang dapat dijadikan pilihan
adalah memberantas korupsi melalui sektor pendidikan.
Terdapat tiga alasan yang dapat dikemukakan terkait dengan penetapan
pendidikan sebagai strategi alternatif dalam pemberantasan korupsi.
Pertama, pendidikan mempunyai pengetahuan (knowledge) yang dapat
memberikan pencerahan pada seseorang yang melakukan kesalahan. Apalagi,
sekarang sedang marak digembor-gemborkan uji publik kurikulum 2013 oleh
Kemendikbud (Kementrian Pendidikan dan Budaya), yang dianulir lebih
memusatkan pada pendidikan karakter peserta didik. Jika kurikulum itu
benar-benar diterapkan, tentu akan sangat membantu dalam upaya
pemberantasan korupsi.
Sejauh ini praktek korupsi hanya dipahami secara legal, terkait dengan
kasus yang menjerat lembaga-lembaga saja. Padahal, wabah korupsi telah
tumbuh subur di masyarakat secara luas. Masyarakat mulai dari tingkat
atas hingga rakyat jelata telah mengenal korupsi dalam berbagai budaya.
Namun, praktek budaya yang semikian adanya, telah menyamarkan indikasi
korupsi dalam masyarakat.
Seperti dikemukakan Mochtar Lubis (1988), ekspresi korupsi telah
mewujud dalam praktek pemberian uang sogokan, uang kopi, salam tempel,
uang semir, uang pelancar atau pelumas, dan parsel lebaran.
Bahkan untuk mengelabuhi hukum, pemberian imbalan tidak secara langsung
diberikan pada pejabat resmi terkait. Pemberian diberikan melalui anak,
istri, kerabat, ataupun teman dekatnya. Berkaitan dengan budaya ini
lembaga pendidikan dapat menekankan pejabat-pejabat dan masyarakat untuk
lebih berhati-hati dengan praktek korupsi terselubung.
Kedua, lembaga pendidikan mempunyai jaringan (networking) yang kuat
mencakup seluruh penjuru Tanah Air. Sehingga, penting untuk dilibatkan
dalam upaya pemberantasan korupsi.
Pelibatan lembaga pendidikan mulai tingkat dasar, menengah, hingga
tinggi akan menjadikan pendidikan sebagai usaha yang masif dalam upaya
pemberantasan korupsi. Apalagi jika dalam gerakan ini melibatkan
pimpinan, rektor/kepala sekolah, dosen/guru, mahasiswa/siswa, karyawan,
staff, dan stakeholders yang ada. Gerakan yang masif akan menjadi sangat
kuat, dan dengan mudah dapat memberantas mentalitas-mentalitas
koruptor.
Dengan gerakan yang masif ini diharapkan secara perlahan mental-mental
korupsi dapat dipangkas habis, hingga pada saatnya nanti bangsa ini akan
terbebas dari problem korupsi. Ketiga, jika ditelaah secara jujur
korupsi di negeri ini banyak dilakukan oleh kalangan terdidik.
Mereka umumnya alumni dari satuan lembaga pendidikan. Bahkan di antara
mereka juga banyak yang pernah mengenyam pendidikan tinggi. Kasus yang
menimpa Andi seharusnya dapat menjadi pelajaran berharga bagi dunia
pendidikan. Orang dengan latar pendidikan mapan sekalipun dapat
ditetapkan sebagai praduga bersalah tersangka korupsi. Itu bisa jadi
karena sistem negeri ini yang telah terlampau korup.
Akibatnya, siapapun yang masuk ke dalam sistem ini akan sulit untuk
terhindar dari budaya korupsi. Andi dan kalangan terdidik lainnya yang
telah ditetapkan sebagai tersangka atau dinyatakan bersalah, bisa jadi
merupakan korban dari bobroknya sistem administrasi negara yang tidak
pernah dikuasai secara baik. Ini karena pada saat kalangan terdidik
masih belajar di lembaga pendidikan tidak pernah menerima materi tentang
tindakan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi.
Dan jika hal ini benar, upaya untuk memasukkan pendidikan antikorupsi
sebagai satuan kurikulum lembaga pendidikan mutlak harus diterapkan.
Upaya untuk membebaskan negeri ini dari bahaya korupsi harus didukung
oleh satuan lembaga pendidikan, jika mereka tidak mau dikatakan sebagai
lembaga pemroduksi koruptor. Wallahu a’lam bi al-shawaab.
Langkah awal, Dimuat di;www.rimanews.com
0 komentar:
Posting Komentar