Minggu, 13 Januari 2013

Pendidikan, Ajang Pemberantasan Korupsi

Korupsi telah begitu mewabah serta menggerogoti bangsa ini, mengakibatkan semakin rapuhnya kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi telah merambah berbagai sektor dalam pemerintahan. Badan Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif tak ada yang luput dari jerat laku korupsi. Meskipun satu persatu kasus korupsi berhasil diungkap aparat hukum, namun kasus serupa juga banyak bermunculan.
Sulitnya menghilangkan budaya korupsi dari negeri ini ibarat mengurai benang kusut. Satu kasus korupsi diselesaikan, seribu kasus korupsi bermunculan. Tercatat sepanjang tahun 2012 banyak pejabat yang ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Setelah penetapan Nazaruddin sebagai tersangka korupsi pengadaan wisma atlet, beberapa pejabatpun juga ikut ditetapkan sebagai tersangka kasus serupa. Yang mutakhir  adalah penepatan mantan juru bicara presiden Andi Alifian Mallarangeng sebagai tersangka kasus korupsi proyek pusat olahraga Hambalang.
Penetapan Andi dan Nazaruddin sebagai tersangka harus menjadi entry point bagi aparat penegak hukum untuk mengungkap lebih jauh praktek korupsi dalam kasus lain yang selama ini menjadi sorotan publik. Semisal kasus korupsi Bank Century yang sekarang entah bagaimana perkembangannya. Jika aparat pengadilan mampu membuktikan dugaan korupsi yang dipersangkakan, meminjam istilah Lord Acton berarti mereka telah meyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Dua abad silam, Lord Acton pernah menulis sebuah ungkapan yang menghubungkan antara korupsi dan kekuasaan dalam surat yang ditujukan pada Bishop Mandell Creighten. Acton mengatakan, “Power tends to corrupt
and absolute power corrupts absolutely”. Ungkapan ini berarti bahwa orang yang memiliki kekuasaan cenderung menyalahgunakannya dan orang yang memiliki kekuasaan absolut pasti akan menyalahgunakannya
Melihat praktek korupsi telah begitu rupa menggerogoti bangsa ini, maka semangat memberantas korupsi harus terus dikobarkan.Memerangi korupsi masih menjadi agenda besar bangsa dalam menciptakan peradaban yang berpemerintahan bersih tanpa korupsi. Sebab, korupsi merupakan penyakit peradaban yang dapat meruntuhkan kokohnya bangunan suatu bangsa.
Para pejuang antikorupsi tidak boleh pesisimistis dalam upaya-upayanya memberantas korupsi karena melihat begitu banyak kasus-kasus korupsi yang belum terungkap. Mereka harus tetap terus menabuh genderang perang pada korupsi. Publik sangat mendukung upaya-upaya pembersihan negeri ini dari bahaya korupsi.
Harus ada kesepahaman di antara aparat penegak hukum bahwa korupsi merupakan penyakit berbahaya yang terus merapuhkan kokohnya bangsa ini. Korupsi perlu dipangkas habis tanpa tersisa sedikitpun. Karena korupsi merupakan penyakit yang sangat berbahaya bagi kelangsungan suatu bangsa, baik masa sekarang maupun yang akan datang.
Dalam upaya memberantas korupsi, tak cukup hanya satu lembaga yang dengan lantang meneriakkan semangat antikorupsi. Perlu adanya kerjasama berbagai pihak agar korupsi tidak terus mewabah di Bumi Indonesia. Tak cukup dengan hal itu, diperlukan juga pengetahuan dan strategi yang tepat agar tujuan dapat tercapai dengan mudah. Senada dengan hal itu, Rektor Universitas Paramadina Anies Baswedan pernah mengingatkan bahwa memberantas korupsi tidak cukup ditempuh hanya dengan menggelorakan gemuruh perlawanan dan pekik antikorupsi.
Peringatan Anies ini sangat penting dikemukakan karena kemungkinan faktor penghambat kinerja lembaga antikorupsi adalah sampai sekarang aparat penegak hukum belum menemukan strategi yang tepat dalam upaya pemberantasan korupsi. Strategi alternatif yang dapat dijadikan pilihan adalah memberantas korupsi melalui sektor pendidikan.
Terdapat tiga alasan yang dapat dikemukakan terkait dengan penetapan pendidikan sebagai strategi alternatif dalam pemberantasan korupsi. Pertama, pendidikan mempunyai pengetahuan (knowledge) yang dapat memberikan pencerahan pada seseorang yang melakukan kesalahan. Apalagi, sekarang sedang marak digembor-gemborkan uji publik kurikulum 2013 oleh Kemendikbud (Kementrian Pendidikan dan Budaya), yang dianulir lebih memusatkan pada pendidikan karakter peserta didik. Jika kurikulum itu benar-benar diterapkan, tentu akan sangat membantu dalam upaya pemberantasan korupsi.
Sejauh ini praktek korupsi hanya dipahami secara legal, terkait dengan kasus yang menjerat lembaga-lembaga saja. Padahal, wabah korupsi telah tumbuh subur di masyarakat secara luas. Masyarakat mulai dari tingkat atas hingga rakyat jelata telah mengenal korupsi dalam berbagai budaya. Namun, praktek budaya yang semikian adanya, telah menyamarkan indikasi korupsi dalam masyarakat.
Seperti dikemukakan Mochtar Lubis (1988), ekspresi korupsi telah mewujud dalam praktek pemberian uang sogokan, uang kopi, salam tempel, uang semir, uang pelancar atau pelumas, dan parsel lebaran.
Bahkan untuk mengelabuhi hukum, pemberian imbalan tidak secara langsung diberikan pada pejabat resmi terkait. Pemberian diberikan melalui anak, istri, kerabat, ataupun teman dekatnya. Berkaitan dengan budaya ini lembaga pendidikan dapat menekankan pejabat-pejabat dan masyarakat untuk lebih berhati-hati dengan praktek korupsi terselubung.
Kedua, lembaga pendidikan mempunyai jaringan (networking) yang kuat mencakup seluruh penjuru Tanah Air. Sehingga, penting untuk dilibatkan dalam upaya pemberantasan korupsi.
Pelibatan lembaga pendidikan mulai tingkat dasar, menengah, hingga tinggi akan menjadikan pendidikan sebagai usaha yang masif dalam upaya pemberantasan korupsi. Apalagi jika dalam gerakan ini melibatkan pimpinan, rektor/kepala sekolah, dosen/guru, mahasiswa/siswa, karyawan, staff, dan stakeholders yang ada. Gerakan yang masif akan menjadi sangat kuat, dan dengan mudah dapat memberantas mentalitas-mentalitas koruptor.
Dengan gerakan yang masif ini diharapkan secara perlahan mental-mental korupsi dapat dipangkas habis, hingga pada saatnya nanti bangsa ini akan terbebas dari problem korupsi. Ketiga, jika ditelaah secara jujur korupsi di negeri ini banyak dilakukan oleh kalangan terdidik.
Mereka umumnya alumni dari satuan lembaga pendidikan. Bahkan di antara mereka juga banyak yang pernah mengenyam pendidikan tinggi. Kasus yang menimpa Andi seharusnya dapat menjadi pelajaran berharga bagi dunia pendidikan. Orang dengan latar pendidikan mapan sekalipun dapat ditetapkan sebagai praduga bersalah tersangka korupsi. Itu bisa jadi karena sistem  negeri ini yang telah terlampau korup.
Akibatnya, siapapun yang masuk ke dalam sistem ini akan sulit untuk terhindar dari budaya korupsi. Andi dan kalangan terdidik lainnya yang telah ditetapkan sebagai tersangka atau dinyatakan bersalah, bisa jadi merupakan korban dari bobroknya sistem administrasi negara yang tidak pernah dikuasai secara baik. Ini karena pada saat kalangan terdidik masih belajar di lembaga pendidikan tidak pernah menerima materi tentang tindakan yang dapat  dikategorikan sebagai korupsi.
Dan jika hal ini benar, upaya untuk memasukkan pendidikan antikorupsi sebagai satuan kurikulum lembaga pendidikan mutlak harus diterapkan. Upaya untuk membebaskan negeri ini dari bahaya korupsi harus didukung oleh satuan lembaga pendidikan, jika mereka tidak mau dikatakan sebagai lembaga pemroduksi koruptor. Wallahu a’lam bi al-shawaab.

Langkah awal, Dimuat di;www.rimanews.com

0 komentar:

Posting Komentar